Gadai Wadi'ah dan Ghasab (Fikih Muamalah Jinayah)
BAB I
|
A. Latar Belakang
|
Manusia adalah makhluk
sosial yang berkodrat, yang berkodrat hidup dalam bermasyarakat. Sebagai
makhluk sosial dalam hidupnya manusia memerlukan manusia-manusia lain yang
bersama-sama hidup bermasyarakat, manusia selalu berhubungan satu sama lain,
didasari atau tidak, untuk mencukupkan kebutuhan-kebutuhan hidup.
Untuk
itu perlu kita ketahui juga bahwasannya dalam islam segala hal yang berkaitan
dengan manusia semuanya sudah di atur secara jelas. Aturan tersebut salah satu
nya yakni terdapat dalam kajian tentang fiqih mu’amalah mengenai Gadai,
Wadi’ah, dan Ghasab. Yang mana di dalamnya mencakup seluruh aturan sisi
kehidupan individu dan masyarakat, baik perekonomian, sosial kemasyarakatan, politik
bernegara, serta lainnya. Karenanya pada makalah ini di bahas suatu kajian yang
mendalam agar dapat memaahami tata aturan islam tentang hubungan manusia yang
sesungguhnya.
Para
ulama mujtahid dari kalangan para sahabat, tabi’in, dan yang setelah mereka
tidak henti-hentinya mempelajari semua fenomena dan permasalahan manusia atas
dasar ushul syari’at dan kaidah-kaidahnya. Yang bertujuan untuk menjelaskan
menjawab hukum-hukum permasalahan tersebut supaya dapat di manfaatkan pada
masa-masanya dan setelahnya
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang di maksud dengan Gadai ?
2. Bagaimana Sistematika yang ada dalam Gadai ?
3. Apa yang di maksud dengan Wadi’ah ?
4. Bagaimana Sistematika yang ada dalam Wadi’ah ?
5. Apa yang di maksud dengan Ghasab
?
6. Bagaimana Sistematika yang ada dalam Ghasab ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Gadai
2. Untuk mengetahui sistematika dalam Gadai
3. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Wadi’ah
4. Untuk mengetahui sistematika dalam Wadi’ah
5. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Ghasab
6. Untuk mengetahui sistematika dalam Ghasab
BAB II
PEMBAHASAN |
A. GADAI
|
1.
Pengertian Gadai
2. Sifat rahn.
Secara umum rahn diktegorikan sebagai akad yang
besifat derma sebab apa yang diberikan pegadai rahin) kepada penerima
gadai (murtahin) tidak ditukar dengan sesuatu.
3. Landasan Rahn
Al-Quran :
وَإِن
كُنتُمْ عَلَىٰ سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَّقْبُوضَةٌ البقرة
Apabila kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak
secara tunai), sedangkan kamu tidak memperoleh seorang penulis, hendaklah sda
barang tanggungan yang dipegang.
Hadis :
عَنْ
عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم اِشْتَرَى
مِنْ يَهُوْدِيٍّ طَعَامًا وَرَهَنَةُ دَرْعًا مِنْ حَدِيْدٍ
(رواه
البخارى ومسلم)
Dari siti aisyah r.a. bahwa Rasulullah صلى
الله عليه وسلم pernah membeli
makanan dengan menggadaikan baju besi. (H.R. Bukhari dan muslim)
4. Hukum rahn
Para ulama sepakat bahwa hukum rahn dibolehkan tetapi
tidak diwajibkan. Sebab gadai hanya jaminan saja jika kedua pihak tidak sling
mempercayai. Firman Allah سبحنه و تعالى
: فَرِهَانٌ
مَّقْبُوضَةٌ pada ayat ini adalah irsyad (anjuran baik) saja
kepada orang yang beriman. Selain itu, perintahuntuk memberikan jaminan
sebagaimana dinyatakan ayat tersebut ketika tidak ada penulis padahal hukum utang sendiri tidak wajib,
begitu juga penggantinya, yaitu barang jaminan.
5. Unsur Rahn
6. Rukun
rahn
1.
Shighat
2.
Aqid (orang yang akad)
3.
Marhun (jaminan)
4.
Marhun bih (utang0
7. Syarat-syarat
Rahn:
No.
|
Syarat
rahn
|
Penjelasan
|
Ket.
|
1.
|
Persyaratan aqid
|
Harus memenuhi kriteria al-ahliyah
|
Syafi’iyah: Ahliyah yaitu
orang yang telah sah untuk jual beli(mumayyiz, baligh)
|
2.
|
Shighat
|
Ada yang memperbolehkan adanya syaratdalam shighat. Ada
yang tidak memperbolehkan.
|
Hanafiyah tidak
memperbolehkan ada syarat dalam shighat rahn
Selain hanafiyah syarat sighat dalam
rahn ada yang sahih dan fasid.
Contoh shighat shahih: mensyaratkan
agar murtahin cepat membayar
sehingga jaminan tidak disita
Contoh shighat fasid : meminta
agar hewan jaminan diberi makanan tertentu.
|
Marhum bih
|
a. Marhub Bih hendaklah barang yang wajib diserahkan.
|
Hanafiyah : marfum bih hendaklah
berupa utang yang wajib diberikan kepada orang yang menggadaikan barang, baik
berupa uang ataupun berbentuk benda.
|
|
b. Marhun Bih memungkinkan dapat dibayarkan.
|
Jika marhun bih tidak dapat di bayar, rahn menjadi
tidak sah, sebab menyalahi maksud dan tujuan dari di syariatkannya rahn.
|
||
c. Hak atas marhun bih harus jelas
|
|||
Marhun
|
Ulama
hanafiah mensyariatkan marhun, antara lain
a. Dapat diperjualbelikan
b. Bermanfaat
c. Jelas
d. Milik Rahin
e. Bisa diserahkan
f. Tidak bersatu dengan harta lain
g. Dipegang (dikuasai) oleh Rahin
h. Harta
yang tetap atau dapat dipindahkan.
|
Para ulama sepakat mensyaratkan marhun sebagaimana persyaratan barang dalam
jual-beli, sehingga barang tersebut dapat dijual untuk memenuhi hak murtahin
|
|
Kesempurnaan rahn (memegang barang)
|
memegang
marhun adalah syarat kesempurnaan, tetapi bukan syarat sah atau syarat lazim.
yang memegang marhun adalah murtahin atau adl
|
a. Cara
memegang mahrum
syarat- syarat memegang adalah: 1. Atas
seizin ranin, 2. Ranin dan murtahin ahli dalam akad, 3.
Murtahin harus tetap memegang rahin
b. Orang yang berkuasa atas Borg
ketentuannya yaitu : a. Memiliki dua sifat;
amanah dan bertanggung jawab¸b. Harus orang yang sah dijadikan wakil bagi rahin
dan murtahin, c. Tidak
boleh anak kecil,Gila
|
8. Beberapa Hal Yang Berkaitan
Dengan Syariat Rahn
a. Borg harus utuh
- Ulama Hanafiyah; Harus Utuh
(tak boleh bercera-berai)
- Jumhur Ulama: Boleh
b. Borg yang berkaitan denganbenda lainnya.
- Ulama Hanafiyah: Tidak Boleh (tidak sah)
- Jumhur Ulama : Boleh (selagi dapat diserahkan)
c. Gadai Utang
- Para Ulama selain Mlaikiyah : Tidak Boleh
- Ulama Malikiyah: Boleh
d. Gadai barang yang didagangkan atau di pinjam
- Para Ulama Imam Mazhab: Boleh
e. Menggadaikan barang pinjaman
- Para Imam Mazhab : Boleh (atas izin pemiliknya)
f. Gadai tirkah (harta peninggalan jenazah)
- Ulama hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah: Boleh
- Ulama Syafi’iyah : Tidak Boleh
g. Gadai barang yang cepat rusak
- Ulama Hanabilah; Boleh,
jika dimungkinkan akan kuat.
h. Menggadaikan kitab
- Ulama Hanafiyah, Malikiyah, Syafiiyah: Boleh
- Ulama Hanabilah: Tidak Boleh
9. Hukum
Rahn Dan Dampaknya
Secara umum terbagi dua, yaitu shahih
dan ghairu shahih (fasid) . Rahn shahih adalah rahn yang memenuhi
persyaratan di atas, sdangkan rahn fasid adalah rahn yang tidak memenuhi
persyaratan tersebut.
1.
Hukum rahn shahih.
Kelaziman
rahn bergantung pada rahin, bukan murtahin. Pahn tidak memiliki
kekuasaan untuk membatalkannya, sedangkan murtahin berhak membatalkan
kapan dia mau. Selain itu rahn baru dipandang sah bila marhun sudah dipegang
oleh murtahin.
2.
Dampak rahn shahih
a.
Adanya utang untuk rahin
b.
Hak menguasai marhun
10. Ketentuan Umum Pelaksanaan Rahn dalam
Islam
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan ar-rahn antara
lain:
1. Kedudukan Barang Gadai.
Selama
ada di tangan pemegang gadai, maka kedudukan barang gadai hanya merupakan suatu
amanat yang dipercayakan kepadanya oleh pihak penggadai.
2. Pemanfaatan Barang Gadai.
Pada
dasarnya barang gadai tidak boleh diambil manfaatnya baik oleh pemiliknya
maupun oleh penerima gadai. Hal ini disebabkan status barang tersebut hanya
sebagai jaminan utang dan sebagai amanat bagi penerimanya. Apabila mendapat
izin dari masing-masing pihak yang bersangkutan, maka barang tersebut boleh
dimanfaatkan. Oleh karena itu agar di dalam perjanjian gadai itu tercantum
ketentuan jika penggadai atau penerima gadai meminta izin untuk memanfaatkan
barang gadai, maka hasilnya menjadi milik bersama. Ketentuan ini dimaksudkan
untuk menghindari harta benda tidak berfungsi atau mubazir.
4. Resiko Atas Kerusakan Barang
Gadai
Ada
beberapa pendapat mengenai kerusakan barang gadai yang di sebabkan tanpa
kesengajaan murtahin. Ulama mazhab Syafi’i dan Hambali berpendapat
bahwa murtahin (penerima gadai) tidak menanggung resiko
sebesar harga barang yang minimum. Penghitungan di mulai pada saat
diserahkannya barang gadai kepada murtahin sampai hari rusak
atau hilang.
5.
Pemeliharaan Barang Gadai
Para ulama’ Syafi’iyah dan Hanabilah
berpendapat bahwa biaya pemeliharaan barang gadai menjadi tanggungan penggadai
dengan alasan bahwa barang tersebut berasal dari penggadai dan tetap merupakan
miliknya. Sedangkan para ulama’ Hanafiyah berpendapat lain, biaya yang
diperlukan untuk menyimpan dan memelihara keselamatan barang gadai menjadi
tanggungan penerima gadai dalam kedudukanya sebagai orang yang menerima amanat.
5.
Kategori Barang Gadai
Jenis
barang yang biasa digadaikan sebagai jaminan adalah semua barang bergerak dan
tak bergerak yang memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Benda bernilai menurut hukum
syara’
b. Benda berwujud pada waktu
perjanjian terjadi
c. Benda diserahkan seketika kepada murtahin
6. Pembayaran atau Pelunasan Utang
Gadai.
Apabila
sampai pada waktu yang sudah di tentukan, rahin belum juga
membayar kembali utangnya, maka rahin dapat dipaksa oleh marhun untuk
menjual barang gadaianya dan kemudian digunakan untuk melunasi hutangnya.
7. Prosedur Pelelangan Gadai
Jumhur
fukaha berpendapat bahwa orang yang menggadaikan tidak boleh menjual atau
menghibahkan barang gadai, sedangkan bagi penerima gadai dibolehkan menjual
barang tersebut dengan syarat pada saat jatuh tempo pihak penggadai tidak dapat
melunasi kewajibanya.[6]
11. Manfaat Rahn
Manfaat yang dapat di ambil oleh bank dari prinsip ar-rahn adalah:
1. Menjaga kemungkinan nasabah untuk
lalai atau bermain-main dengan fasilitas pembiayaan yang diberikan.
2. Memberikan keamanan bagi segenap
penabung dan pemegang deposito bahwa dananya tidak akan hilang begitu saja.
Jika nasabah peminjam ingkar janji, ada suatu asset atau barang (marhun) yang
dipegang oleh bank.
3. Jika rahn diterapkan
dalam mekanisme pegadaian, maka akan sangat membantu saudara kita yang
kesulitan dana terutama didaerah-daerah.
12. Risiko Rahn
Adapun resiko yang mungkin terdapat pada rahn apabila
diterapkan sebagai produk adalah:
1. Resiko tak terbayarnya hutang
nasabah (wanprestasi)
2. Resiko penurunan nilai aset yang
ditahan atau rusak.
12. Perbedaan
dan Persamaan Gadai Syariah dan Gadai Konvensional
a. Persamaan
Gadai Konvensional dengan Gadai Syariah
Persamaan gadai konvensional dengan
gadai syariah adalah seperti berikut:
1. Hak gadai berlaku atas pinjaman uang
2. Adanya agunan (barang jaminan)
sebagai jaminan utang
3. Apabila batas waktu pinjaman uang
telah habis , barang yang di gadaikan bolehdi jual atau di lelang
b. Perbedaan
gadai syariah dengan gadai konvensional
Perbedaan gadai syariah dengan gadai
konvensional adalah sebagai berikut:
INDIKATOR
|
Rahn ( Gadai Syariah )
|
Gadai Konvensional
|
Konsep Dasar
|
Tolong menolong ( jasa pemeliharaan barang jaminan)
|
Profit Oriented ( Bunga dari pinjaman pokok/ biaya sewa
modal)
|
Jenis Barang Jaminan
|
Barang bergerak dan tidak bergerak
|
Hanya barang bergerak
|
Beban
|
Biaya pembiayaan
|
Bunga (dari pokok pinjaman)
|
Lembaga
|
Hanya bisa dilakukan oleh lembaga (perum penggadaian)
|
Bisa dilakukan perseorangan
|
Perlakuan
|
Dijual (kelebihan dikembalikan kepada yang memiliki)
|
Dilelang
|
Akhir
rahn
Rahan dianggap berahir atau habis
dengan beberapa keadaan seperti diatas diantaranya sebagai berikut:
1. Marhun diserahkan kepada
pemiliknya
2. Dipaksa menjual marhun
3. Rahin melunasi semua utang
4.Pembebasan utang
5. Pembatalan rahn dari pihak
murtahin
6. Rahin menunggal
7. Borg rusak
8. Di tasharruf kannya marhun
B. WADI’AH WWADI’AH
|
A.
Pengertian Titipan ( Wadi’ah )
Seperti
halnya gadai, wadi’ah adalah seseorang menitipkan sesuatu atau barang
kepada orang lain yang dianggapnya terpercaya untuk dijaga dengan baik.
Perbedaan antara gadai dengan wadi’ah adalah bahwa gadai dan penitipan barang
tersebut disertai dengan adanya utang (dain) kepada orang yang menerima barang
titipan (murtahin) sedangkan wadi’ah hanya sekedar titipan tanpa adanya utang.
Kata wadi’ah
berasal dari kata wada’a asyy-syaia,
yaitu meninggalkan sesuatu. Disebut wadi’ah karena sesuatu yang
ditinggalkan seseorang kepada orang lain untuk dijaga.
|
Menurut Wahbah Zuhaily wadi’ah berasal
dari kata wada’a berarti meninggalkan atau meletakkan sesuatu pada orang
lain untuk dipelihara dan dijaga.
secara etimologi berarti harta yang
dititipi kepada seseorang yang dipercayai untuk menjaganya.[1]
|
Secara
terminologi, ada dua definisi yang digunakan ahli fiqih:
-
Ulama mazhab Hanafi mendefinisikan dengan “mengikut sertakan orang lain
dalam memelihara harta, baik dengan ungkapan jelas, melalui tindalkan maupun
melalui Isyarat”.
- Ulama Mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali mendefinisikan
wadi’ah dengan “mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan
cara tertentu.[1]
Dalam
Akutansi wadiah, pengertian wadiah juga adalah titipan nasabah yang harus
dijaga dan di kembalikan setiap saat apabila nasabah yang bersangkutan
menghendakinya (Wiroso, 2005).
Meskipun
seorang yang menerima titipan tidak berkewajiban menjamin barang titipan, ia
tetap kewajiban menjadi orang yang amanah terhadap barang titipan. Melihat
subtansi yang demikian ini, maka wadi’ah sama dengan amanah. Firman Allah SWT
dalam Q.S An-nisa (4); 58 :
ان الله يا مركم ان تؤدوا الآمنت
الي اهلها (58)
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk
menyampaikan amanat (titipan) kepada yang berhak menerimanya”. (Q.S
An-nisa (4); 58)[2]
Tidak
ada kewajiban untuk menjamin barang titipan tersebut didasarkan pada sabda
Rasulullah Saw. yang artinya :
“Siapa yang dititipi, ia
berkewajiban menjamin.” (HR Ibnu Majah)
“Tidak ada kewajiban menjamin
untuk orang yang diberi amanah,” (HR.
Baihaqi)
B. Hukum
Menerima Titipan ( Wadi’ah )
Hukum
menitipkan dan menerima titipan adalah jaiz. Wadi’ah sebagai amanat yang ada
pada orang yang dititipkan dan ia berkewajiban mengembalikannya pada saat
pemilikinya meminta. Hal ini sebagaimana firman Allah Swt dalam Q.S Al-Baqarah
[2] : 283 [3]
Sunat Bagi
orang yang percaya kepada dirinya bahwa dia sanggup
Makruh terhadap orang yang dapat menjaganya
tetapi ia tidak percaya
kepada dirinya, boleh jadi
dikemudian hal itu akan menyebabkan dia khianat terhadap barang yang dititipkan
kepadanya.[4]
C. Rukun Akad
Titipan ( Wadi’ah ).
Rukun
Akad wadiah menurut jumhur ulama, yaitu:
1. Muwaddi’ ( Orang yang menitipkan )
2. Wadii’ ( Orang yang dititipi
barang )
Syaratnya,
keduanya (Muwadd’i dan Wadi’i) seperti keadaan wakil dan yang berwakil;
tipa-tiap orang yang sah berwakil atau menjadi wakil, sah pula menerima petaruh
(wadiah) atau berpetaruh.
3. Wadi’ah ( Barang yang
dititipkan).
4. Shigat (ijab dan kabul).
Kabul
dari dua orang yang dititipi bisa, berupa perkataan, “Saya menerimanya”. Bisa
juga tindakan yang menunjukkan hal itu (tidak ada lafaz kabul) , seperti ada
orang yang meletakkan harta di tempat orang lain, lalu orang lain itu diam saja, maka diamnya orang kedua tersebut menempati posisi kabul,
sebagaimana dalam jual beli mu’athaah.
Sedangkan
akad dan wadi’ah diisyaratkan seperti pada akad wakalah, seperti baligh,
berakal, dan bisa mengatur pembelanjaan harta.[5]
Akad
petaruh (wadiah) adalah akad percaya-mempercayai. Oleh karena itu, yang
menerima petaruh tak perlu menggantinya apabila barang yang dipertaruhkan
hilang atau rusak. Kecuali apabila rusak karena lalai atau kurang penjagaan,
berarti tidak dijaga sebagaimana mestinya. [6]
D. Macam- Macam
Titipan ( Wadi’ah )
1. Yad Amanah
Yaitu penerima titipan tidak
boleh menggunakan memanfaatkan barang yang dititipkan tetapi penerima
titipan boleh meminta imbalan atas barang atau dana titipan tersebut.
2. Yad Dhamamah
Yaitu penerima titipan boleh
menggunakan manfaat barang yang dititipkan dan penerima titipan boleh
memberikan imbalan atau bonus atas barang atau dana titipan tersebut.
Penerima titipan diperbolehkan
memberikan bonus kepada penitip tetapi tidak boleh di janjikan sebelumnya dan
besarnya tergantung kebijaksanaan penerima titipan.[7]
Apabila seseorang menggunakan barang
titipan kemudian mengembalikan barang lain yang senilai atau ia menggunakan
barang titipan untuk keperluan biayanya kemudian mengembalikan yang senilai
biaya itu pula, dalam hal ini ada perbedaan pendapat, menurut:
-
Malik, Tanggungan orang tersebut gugur
jika ia mengembalikan yang menilai.
-
Abu Hanifah, Jika ia mengembalikan barang itu sendiri sebelum
digunakan, maka ia tidak harus mengganti. Sedangkan apabila ia mengembalikan
yang senilai, maka ia harus mengganti (denda).
-
Abdul Malik dan Syafi’i, Dalam kedua keadaan tersebut ia harus
mengganti.
- Fuqoha, yang memperberat penggunaan tersebut mengharuskan
penggantian, karena ia telah menggerakkan barang tersebut dan mempunyai niatan
untuk menggunakannya. Sedang bagi fuqaha yang menganggap ringan penggunaan
tersebut tidak mengharuskan mengganti, jika mengembalikan barang yang senilai.[8]
E. Ketentuan Titipan
( Wadi’ah )
Apabila seseorang yang diberikan titipan mengaku bahwa
barang titipan telah rusak tanpa adanya unsur kesengajaan darinya.
- Menurut Maliki dan Pengikutnya: Bisa dipercaya
- Menurut Syafi’i, Abu Hanifah, dan Ibnu Qosim: Bisa di
Percaya (sekalipun penyerahan barang tersebut menggunakan saksi).
Akan
tetapi, apabila ada pengakuan dari orang yang menerima titipan bahwa barang
bersama-sama dengan hartanya, kemudian dicuri, sedangkan hartanya tidak maka ia
wajib menjaminnya. Hal ini didasarkan pada Umar r.a, pernah meminta jaminan
dari Anas bin Malik r.a, ketika barang titipannya ada pada Anas dinyatakan
hilang, sedangkan hartanya sendiri tidak hilang.
Sedangkan
apabila orang yang meninggal dunia dan terbukti padanya ada barang titipan
orang lain dan barang titipan tersebut tidak ditemukan, hal ini merupakan
utangnya yang wajib dibayar oleh yang ditinggalkannya (ahli waris).
Para
ulama sepakat bahwa wadi’ah adalah ibadah yang dianjurkan dan penjagaan
terhadapnya mendapatkan pahala. Ia juga merupakan amanah murni, tidak ada
jaminan ganti untuknya dari dua orang yang dititipi. Jaminan ganti untuk barang
titipan tidak menjadi wajib atas orang yang dititipkan kecuali karena
pelanggaran atau ketidakseriusannya dalam menjaganya. Hal ini berdasarkan sabda
rasulullah saw.:
“tidak
ada kewajiban memberi ganti bagi orang yang mendapat titipan yang tidak
berkhianat.”
Namun
demikian, ada beberapa kondisi yang membuat titipan harus dijamin gantinya,
yaitu sebagai berikut.
1. Orang yang dititipi tidak
menjaga barang titipan.
2. Orang yang dititipi menitipkan
lagi kepada orang lain.
3. Barang titipan tersebut
digunakan atau dipakai.
4. Berpergian dengan membawa barang
titipan.
5. Pengingkaran terhadap adanya titipan.
6. Pencampuran barang titipan
dengan barang yang lain.
7. Terjadinya pelanggaran dari
orng yang dititipinterhadap syarat yang ditetapkan oleh pemilik barang.[9]
F. Berakhirnya Akad Wadi’ah
Akad
wadi’ah berakhir dengan beberapa hal berikut ini.
1. Barang titipan diambil atau
dikembalikan kepada pemiliknya.
2. Kematian orang yang menitip
atau yang dittipi.
3. Gilanya atau tidak sadarnya
salah satu pihak yang dititipkan kepada
orang lain.[10]
C. GHASAB
|
Sebagai
ajaran yang sempurna, islam mengatur bahwa sesuatu yang digunakan atau
dimanfaatkan harus memiliki sendiri atau milik orang lain, dengan akad yang
dibenarkan seperti akad ‘ariyah (pinjaman), wadi’ah (titipan), dan ijarah
(menyewa). Apabila tanpa akad yang dibenarkan maka disebut ghasab. Dengan
demikian, ulama fiqih mendefinisikan ghasab adalah menggunakan barang orang
lain tanpa sepengetahuan pemiliknya. Sebab dalam islam, hanya dibolehkan
menggunakan atau memanfaatkan barang orang lain dengan cara ‘ariyah (pinjaman)
atau wadi’ah (titipan) atau ijarah (menyewa) atau akad lain yang menunjukan
saling ridho.[11]
Berkaitan dengan makna ghasab Allah
SWT berfirman :
أَمَّاالسَّفِيْنَةُ فَكَانَتْ
لِمَسَاكِيْنَ يَعْمَلُوْنَ فيِ الْبَحْرِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيْبَهَا وَكَانَ
وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِيْنَةٍ غَصْبًا
Adapun bahtera itu adalah
kepunyaan orang-orang miskin, yang mencari kehidupan di laut, dan aku bertujuan
merusakannya, karena di belakang mereka ada seorang raja yang mengambil
tiap-tiap bahtera secara rampas. (Q.S Kahfi [18] : 79)
A. Hukum Ghasab
Adapun hukum ghasab adalah haram yaitu, berdosa bagi
pelakunya, sebagaimana firman Allah SWT :
وَلاَ تَأْكُلُوْا أَمْوَالَكُمْ
بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
Dan
janganlah memakan harta antara kamu dengan cara bathil (Q.S Al-Baqarah : [2] :
188)
Berikut ini hadis tentang
larangan atau ancaman ghasab
|
من أخذ مال أخيه بيمينه أوجب الله
له النار وحرم عليه الجنة فقال رجل : يارسول الله وإن كان شيئا يسيرا ؟ قال وإن
كان عودا من أراك
“ Barang siapa yang mengambil harta saudaranya dengan tangan
kanannya, Allah memastikan baginya neraka dan mengharamkan syurga baginya. Maka
seorang sahabat bertanya : Ya Rasulullah, Meskipun barang yang kita pakai
barang yang ringan (sederhana)? ya meskipun sejengkal siwak.” Jawab Rasul (HR.
Muslim, Al-Nasa’i, dan imam Malik) [12]
B. Ketentuan Lain
dari Ghasab
a. Haram
memanfaatkan barang rampasan
Sebagaimana diuraikan diatas, bahwa menggunakan
barang orang lain dengan tanpa izin dianggap merampas hak-hak orang lain.
Selama ghasab diharamkan maka tidak dihalalkan memanfaatkan barang rampasan
dengan cara pemanfaatan apa pun. Selain itu, ia berkewajiban mengembalikannya,
sekalipun ia sedang mengelolanya, baik langsung maupun tidak langsung.
b.
Menggarap dan membangun di tanah orang lain merupakan ghasab
Jika seseorang menanam lahan persawahan hasil
pengghasaban, tanamannya menjadi hak si pemilik tanah. Sementara itu, bagi si
perampas hanya menerima upah dari pemilik tanah, jika tanamannya itu belum
dapat dipanen, namun, jika telah dapat dipanen si pemilik tanah tidak berhak
apa-apa kecuali hanya ongkos sewa lahannya. Hal ini di dasarkan pada sabda
Rasululah :
مَنْ زَرَعَ فيِ أَرْضِ قَوْمٍ
بِغَيْرِ إِذْنِهِمْ فَلَيْسَ لَهُ مِنَ الزَّرْعِ شَيْءٌ وَلَهُ نَفَقَتُهُ
“
Siapa yang telah menanam tanaman diatas tanah kaum tanpa izin mereka, maka ia
tidak berhak mendapatkan apa-apa dari sawahnya itu selain dari ongkos
pengolahannya.” (HR. Abu Daud dan Ibn Majah)[13]
Adapun jika ia menanam pohon di atas tanah tersebut
maka ia wajib mencabutnya. Demikian pula jika ia membangun, wajib ia
merobohkannya. Hal ini di didasarkan pada sabda Rasulullah SAW :
مَنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيِّتَةً
فَهِيَ لَهُ وَلَيْسَ لِعِرْقٍ ظَالِمٍ حَقٌّ (رواه أبوا داود والترمذي)
“ Barang siapa menyuburkan sebidang tanah (bukan hak milik),
maka tanah itu menjadi haknya. Dan tidak ada hak (memiliki) bagi jerih payah
orang yang zalim itu.” (HR. Ahmad, Abu Daud, dan Turmuzi)
c. Orang
yang mendapatkan miliknya ada pada orang lain, ia lebih berhak
Jika seseorang menemukan harta yang dirampaskan
darinya pada orang lain, dialah yang lebih berhak, sekalipun si perampas telah
menjualnya kepada orang lain. Karena si perampas, pada waktu penjualan barang tersebut
belum menjadi pemilik sehingga akad jual beli tidak sah.
Dalam keadaan seperti ini, si
pembeli berkewajiban mengembalikannya kepada si perampas, dengan meminta
pembayarannya, yang telah ia bayarkan. Hal ini di dasarkan kepada sabda
Rasulullah SAW :
مَنْ وَجَدَ عَيْنَ مَالِهِ عِنْدَ
رَجُلٍ فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ, وَيَتْبَعُ الْبَيْعَ مَنْ بَاعَهُ
“ Barangsiapa yang mendapati barang miliknya ada pada orang
lain, dia berhak mengambilnya dan penjualnya dikaitkan dengan orang yang telah menjualnya.” (HR.Al-Daruquthni)[14]
وَمَنْ غَصَبَ مَالاً لِأَحَدٍ
لَزِمَهُ رَدُّهُ وَاَرْشُ نَقْصِهِ وَاُجْرَةُ مِثْلِهِ فَاِنْ تَلِفَ ضَمِنَهُ
بِمِثْلِهِ اِنْ كَانَ لَهُ مِثْلٌ اَوْبِقِيْمَتِهِ اِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ مِثْلِ
اَكْثَرَمَا كَنَتْ مِنْ يَوْمِ الْغَصَبِ اِلىَ يَوْمِ تَلَفِ
“Siapa yang mengghasab harta seseorang, wajib mengembalikannya,
menambal kerusakannya, (memperbaiki kerusakan) dan ongkos sewaan layak. Kalau
rusak barangnya, ia harus menjamin dengan penggantiannya kalau ada yang
sepadan, atau dengan harganya, kalau tak ada yang sepadan dengan
semahal-mahalnya, harga yang ada dari hari mengghasabnya sampai hari rusaknya.
Keterangan :
1. Arti ghasab ialah menguasai hak
milik orang lain secara tidak sah untuk kepentingan sendiri, mengghasab itu
dosa besar.
2. Firman Allah :
يَآ أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَ تَأْكُلُوْا أَمْوَالَكُمْ
بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
“ Hai orang-orang mukmin ! janganlah kamu memakan (menggunakan) harta-harta antara kamu
dengan batal (tidak sah).” (Q.S An-Nisa : 29)
3.
Sabda Nabi SAW :
اِنَّ دِمَاءَكُمْ وَاَمْوَالَكُمْ وَاَعْرَاضَكُمْ حَرَامٌ عَلَيْكُمْ
كَحُرُمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فيِ شَهْرِكُمْ هَذَا فيِ بِلاَدِكُمْ هَذَا (رواه
الشيخان)
“Sesungguhnya darah-darahmu, harta-harta mu, dan
kehormatan-kehormatanmu haram atas kamu sekalian, seperti haramnya hari mu ini
dalam bulan mu ini dan di nnegerimu ini.”
4.
Firman Allah :
فَمَنِ اعْتَدَى عَلَيْكُمْ
فَاعْتَدُوْا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَاعْتَدَى عَلَيْكُمْ (البقرة : 193)
“ Barang siapa yang melewati batas atas kamu sekalian, balaslah
dengan pembalasan yang setimpal.” (QS. Al-Baqarah : 194)[15]
Hal-hal yang menimpa pada barang yang di
|
Hal-hal yang sewaktu-waktu dapat
menimpa barang yang di ghasab itu bisa jadi berupa penambahan atau penyusutan.
Contoh
Kasus ke-1
Jika penyusutan terjadi karena suatu
bencana, maka pemilik barang tidak ada pilihan lain kecuali mengambil barang
tersebut dengan penyusutan yang terjadi itu. Atau meminta tanggungan ganti
sesuai harga ketika terjadi pengghasaban. Pendapat lain mengatakan bahwa ia
boleh mengambil barang dan meminta harga tanggungan penyusutan dari orang yang
mengghasab.
Sedang apabila penyusutan ini
terjadi karena kejahatan orang yang mengghasab, maka dalam mazhab Maliki
dikatakan, pemilik barang di perkenankan memilih antara meminta ganti harga
pada saat terjadi pengghasaban atau mengambil barang tersebut dalam keadaan
telah mengalami penyusutan, ditambah ganti harga penyusutan sesuai harga ketika
terjadi kejahatan, menurut pendapat ibnu qasim. Sedang menurut sahnun sesuai
penyusutan yang terjadi pada waktu pengghasaban.
Silang pendapat ini berpangkal pada
anggapan bahwa pengghasab wajib menanggung atau mengganti barang yang di ghasab
sesuai harga ketika terjadi pengghasaban. Dengan demikian penyusutan dan
penambahan barang ghasaban itu menjadi tanggung jawab pengghasab, seperti
kedudukan barang hak milik biasa. Pengghasab bisa dapat untung, dan penggantian
hanya terbatas pada harga ketika terjadi ghasab. Ia tidak mengganti nilai
penyusutan baik karena faktor alamiah atau karena berencana. Inilah kesimpulan
qiyas Abu Hanifah. Dalam arti qiyas pendapat fuqaha yang hanya mewajibkan
pengghasab untuk mengganti harga barang ketika ghasab.
Contoh
Kasus ke-2
Pengadaan sesuatu bentuk yang
mengeluarkan biaya sendiri juga dibagi menjadi dua. Pertama, tambahan
yang dapat dikembalikan kepada keadaan semula, seperti pendirian bangunan di
atas tanah kosong dan sebagainya. Kedua, tambahan yang tidak di dapat
dikembalikan kepada keadaan semula, seperti kain dengan celupannya dan tepung
halus yang berkurang kadar beratnya.
Pada keadaan pertama, orang yang di
ghasab barangnya diperkenankan memilih. Ia boleh menyuruh pengghasab untuk
mengembalikan tanah kosong tersebut kepada keadaan semula dengan menghilangkan
bangunan yang telah didirikan di atasnya, baik dengan cara di rombak ataupun
lainnya. Atau boleh pula ia memberikan harga tambahan kepada pengghasab sebagai
ganti barangnya yang telah di bongkar sesudah dikurangi biaya
pembongkaran.
Contoh
Kasus ke-3
Mengghasab tiang bagunan
Masalah lain yang terkenal dalam bab
ini ialah tentang seseorang yang mengghasab tiang bangunan kemudian di atas
tiang itu ia mendirikan bangunan yang nilainya beberapa kali lipat dari nilai
tiang tersebut.
Menurut Maliki dan Syafi’i,
pengghasab harus di putuskan untuk membongkarnya, kemudian orang yang di ghasab
pemiliknya mengambil tiangnya.
Sedangkan menurut Abu Hanifah, tiang
tersebut menjadi lepas dari pemiliknya dengan penggantian harga, seperti
pendapat Malik tentang seseorang yang mengubah barang yang di ghasab dengan
suatu kreasi yang bernilai tinggi.
Menurut Syafi’i barang yang di
ghasab itu tidak menjadi lepas dari pemiliknya dengan adanya suatu
tambahan. [16]
[1] Wahbah Zuhaily, Al-Uqud al-Musammah fi Qanun al-Mu’amalat.. Damsik:
Dar al-Fiqri. 1987. hal 297
[3] Hasbiyallah, Sudah Syar’ikah Muamalahmu? Panduan Memahami Seluk-Beluk
Fiqh Muamalah, Yogyakarta, 2014, hlm
[5] Hasbiyallah, Sudah Syar’ikah Muamalahmu? Panduan Memahami Seluk-Beluk
Fiqh Muamalah, Yogyakarta, 2014, hlm 58
[7] Wiroso, Penghimpunan Dana dan Distribusi Hasil
Usaha Bank Syariah, Grasindo, Jakarta, 2005, hlm; 177
[9] Hasbiyallah, Sudah Syar’ikah Muamalahmu? Panduan Memahami Seluk-Beluk
Fiqh Muamalah, Yogyakarta, 2014, hlm: 59
[10] Ibid, 60
[16] Ibnu Rusyd, Bidayatul
Mujtahid Analisa Fiqih Para Mujtahid, Pustaka Amani, Jilid 3, Jakarta,
2007, Hal: 321
Komentar
Posting Komentar