Riba (Fikih Muamalah Jinayah)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Dalam kehidupan sehari-hari, perilaku Riba
ternyata telah membudaya. Kurangnya pengetahuan tentang Riba, hukum – hukum
yang mendasari Riba, sebab – sebab diharamkannya Riba, pembagian Riba, hal -
hal yang menyebabkan Riba serta dampak
yang ditimbulkan oleh Riba tersebut.
Perlu adanya pemahaman yang luas, agar tidak
terjerumus dalam Riba, Karena Riba
menyebabkan tidak terwujudnya kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud
dengan riba?
2. Dari
mana dasar-dasar hukum tentang riba?
3. Apa saja macam-macam riba?
4. Bagaimana hubungan bunga bank dan riba?
5. Bagaimana perbedaan bunga dan bagi hasil?
6. Apa saja hikmah di haramkannya riba?
7. Apa saja produk bank menurut fiqih
muamalah?
8. Apa
saja hukum-hukum
yang berkaitan dengan riba?
9. Bagaimana cara menghindari riba?
C. Tujuan
1.
Untuk mengetahui
definisi riba.
2. Untuk
mengetahui dasar-dasar hukum tentang riba.
3. Untuk
mengetahui macam-macam riba.
4.
Untuk mengetahui hubungan bunga bank dan riba.
5. Untuk
mengetahui perbedaan bunga dan bagi hasil.
6. Untuk
mengetahui hikmah di haramkannya riba.
7. Untuk
mengetahui produk bank menurut fiqih muamalah.
8. Untuk
mengetahui hukum-hukum yang berkaitan dengan riba.
9. Untuk
mengetahui cara menghindari riba.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Riba
Riba
bukan hanya persoalan masyarakat Islam, melainkan berbagai kalangan di luar Islam
pun memandang serius persoalan ini. Seperti orang-orang Yahudi
dilarang mempraktikkan pengambilan bunga terdapat dalam
kitab suci mereka, baik dalam Old Testament (Perjanjian Lama) maupun
undang-undang Tahmud. Sebagaimana termaktub dalam Kitab Exodus
(keluaran) pasal 22 ayat 25 menyatakan:
“Jika engkau meminjamkan uang kepada
salah seorang dari umat-ku, orang yang miskin diantaramu, maka janganlah engkau berlaku
sebagai penagih utang terhadap dia, janganlah engkau bebankan bunga uang terhadapnya.”[1]
Riba menurut bahasa memiliki beberapa pengertian,
yaitu:
1. Bertambah, karena salah satu
perbuatan riba adalah meminta tambahan dari sesuatu yang dihutangkan.
2. Berkembang, berbunga, karena salah
satu perbuatan riba adalah membungakan harta uang atau yang lainnya yang
dipinjamkan kepada orang lain.
3. Berlebihan atau menggelembung.[2]
Sedangkan menurut istilah, yang
dimaksud dengan riba menurut Al Mali ialah: “Akad yang terjadi atas penukaran
barang tertentu yang tidak diketahui pertimbangannya menurut ukuran syara’,
ketika berakad atau dengan mengakhirkan tukaran kedua belah pihak salah satu
keduanya”.
Menurut Muhammad Abduh, yang
dimaksud dengan riba ialah penambahan-penambahan diisyaratkan oleh orang yang
memiliki harta kepada orang yang meminjam hartanya (uangnya), karena
pengunduran janji pembayaran oleh peminjam dari waktu yang telah ditentukan.
Menurut Abdurrahman Al-Jaziri, yang
dimaksud dengan riba ialah akad yang terjadi dengan penukaran tertentu, tidak
diketahui sama atau tidak menurut aturan syara’ atau terlambat salah satunya.[3]
Ibnu
Al-Arabi Al-Maliki dalam kitabnya, Ahkám al-Qur'an, menjelaskan:
والربا في
اللغة والمراد في الاية كل زيادة لم
يقابلها عوض
"Pengertian riba secara
bahasa adalah tambahan, namun yang dimaksud adalah
penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti
dan penyeimbang yang dibenarkan”
Yang
dimaksud dengan transaksi pengganti atau adanya yaitu transaksi bisnis atau
komersial yang melegitimasi adanya penambahan tersebut secara adil,
seperti transaksi jual beli, sewa, atau bagi hasil proyek.
Seperti
contoh, jika si A meminjam uang sebesar Rp5 juta kemudian digunakan untuk usaha
dan mendapatkan keuntungan Rp7 juta maka si A boleh mengembalikan utangnya
lebih dari Rp5 juta. Kelebihan tersebut bukan riba karena dibarengi dengan transaksi pengganti atau
penyeimbang, yaitu 5 juta dijadikan modal untuk usaha. Berbeda dengan si A meminjam Rp5 juta kepada si B. Kemudian, si A tidak menggunakan uang itu untuk usaha dan bahkan si B meminta digantikan
pinjaman tersebut 5 juta. Itulah yang disebut dengan riba yang tidak dibolehkan (haram).[4]
Sedangkan menurut terminologi
syara’, riba berarti: “Akad untuk satu ganti khusus tanpa diketahui
perbandingannya dalam penilaian syariat ketika berakad atau bersama dengan
mengakhirkan kedua ganti atau salah satunya.” [5]
Dengan demikian, riba menurut
istilah ahli fiqih adalah penambahan pada salah satu dari dua ganti yang
sejenis tanpa ada ganti dari tambahan ini. Tidak semua tambahan dianggap riba,
karena tambahan terkadang dihasilkan dalam sebuah perdagangan dan tidak ada
riba didalamnya hanya saja tambahan yang diistilahkan dengan nama “riba” dan Al-Quran
datang menerangkan pengharamannya adalah tambahan tempo.[6]
B. Dasar-dasar Hukum Riba
Riba diharamkan dalam Al – Qur’an, Sunnah dan
Ijma.
a. Al – Qur’an
QS. Al - Baqarah : 275
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ۚ(٢٧٥)
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
Riba.”[7]
Pada periode Mekkah turun firman
Allah swt. Dalam surat Ar-Ruum ayat 39:
وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا
يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ ۖ وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ
فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ(٣٩)
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang
kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, Maka riba itu tidak
menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu
maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah
orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)”.
Pada periode Madinah turun ayat yang
secara jelas dan tegas tentang keharaman riba, terdapat dalam surat Ali-Imran
ayat 130.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا
مُضَاعَفَةً ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ(١٣٠)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan
berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan”.
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ
كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (٢٧٨) فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ
اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لا
تَظْلِمُونَ وَلا تُظْلَمُونَ(٢٧٩)
278.”Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika
kamu orang-orang yang beriman”.
279.“Maka jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka Ketahuilah, bahwa Allah dan
rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba),
Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”.
Dua ayat terakhir di atas
mempertegas sebuah penolakan secara jelas terhadap orang yang mengatakan bahwa
riba tidak haram kecuali jika berlipat ganda. Allah tidak memperbolehkan
pengembalian utang kecuali mengembalikan modal pokok tanpa ada tambahan.[8]
b. Hadis
Dalam hadist yang diriwayatkan oleh
Bukhari dan Muslim secara jelas riba adalah perbuatan haram, termasuk salah satu dari tujuh dosa besar yang membinasakan.
اجْتَنِبُواالسَّبْعَ
الْمُوْ بِقَاتِ اَلشِّرْكُ بِاللهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِىْ
حَرَّمَ اللهُ اِلاَّ بِالْحَقِّ وَاٰكِلُ الرِّبَا وَاٰكِلُ مَالِ الْيَتِيْمِ
وَالتَّوَ لِّى يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفَ الْمُحْصَنَا تِ الْغَا فِلاَ تِ
الْمُؤْ مِنَا تِ. ( رواه البخار ى و مسلم ).
“Tinggalkanlah 7 dosa besar yang membinasakan, (1)
Syirik/Menyekutukan Allah SWT (2) Berbuat sihir (3) Membunuh jiwa yang
diharamkan Allah kecuali yang hak (4) Makan harta Riba (5) Makan harta anak
yatim (6) Melarikan diri dari perang jihad pada saat berjuang dan (7) Menuduh
wanita mukminat yang sopan dengan tuduhan zina.”[9]
Dalam hadist lain keharaman riba
bukan hanya kepada pelakunya, tetapi semua pihak yang membantu terlaksananya
perbuatan riba sebagaimana hadist yang diriwayatkan oleh Muslim:
عَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّباَ وَمُوْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ,
وَقَالَ: هُمْ سَوَاءٌ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihii wasalam melaknat orang memakan riba, yang memberi makan riba, penulisnya, dan dua orang saksinya. Beliau bersabda; Mereka semua sama”. (HR Muslim).[10]
c. Ijma’
Seluruh ulama
sepakat bahawa riba adalah haram.[11]
Islam
telah melarang umatnya untuk mengambil riba. Larangan ini diturunkan dalam
empat tahap.
- Tahap pertama, menolak anggapan pinjaman riba yang pada zhahirnya seolah-olah menolong mereka padahal menyulitkan dan membebankan mereka dan riba bukan tambahan nikmat disisi Allah.
·
Tahap kedua, riba digambarkan sebagai
sesuatu yang buruk. Karena, Allah telah mengancam orang-orang yang mengambil riba.
فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا
عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
كَثِيرً (١٦٠)
وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا
عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ ۚ وَأَعْتَدْنَا
لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيماً (١٦١)
“Maka
disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan)
yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka
banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Dan
disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang
daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang
batil. Kami
telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang
pedih.” (An-Nisa [4] :160-161)
·
Tahap ketiga, riba diharamkan dengan
dikaitkan kepada suatu tambahan yang berlipat
ganda. Para ahli tafsir berpendapat bawa pengambilan bunga dengan
tingkat yang cukup tinggi merupakan fenomena yang banyak
dipraktikkan pada masa tersebut.[12]
C.
Macam-macam Riba
Riba bisa diklasifikasikan menjadi
empat: Riba Al-Fadl, Riba Al-yadd, dan riba An-nasi’ah, riba Qardhi, Berikut penjelasan lengkap
macam-macamnya:
1. Riba Al-Fadhl
Riba Al-Fadhl adalah kelebihan yang
terdapat dalam tukar menukar antara tukar menukar benda-benda sejenis dengan
tidak sama ukurannya, seperti satu gram emas dengan seperempat gram emas,maupun
perak dengan perak.
Hal ini sesuai dengan hadist nabi saw. sebagai berikut:
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَزْنًا
بِوَزْنٍ مِثْلًا بِمِثْلٍ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَزْنًا بِوَزْنٍ مِثْلًا
بِمِثْلٍ فَمَنْ زَادَ أَوْ اسْتَزَادَ فَهُوَ رِبًا
“Emas dengan emas, setimbang dan semisal; perak dengan perak, setimbang dan semisal; barang siapa yang menambah atau meminta tambahan, maka (tambahannya) itu adalah riba”. (HR Muslim dari Abu Hurairah).
2. Riba Al-Yadd
Riba Al-Yadd, yaitu riba dengan berpisah dari tempat akad jual beli sebelum serah
terima antara penjual dan pembeli. Misalnya, seseorang membeli satu kuintal
beras. Setelah dibayar, sipenjual langsung pergi sedangkan berasnya dalam
karung belum ditimbang apakah cukup atau tidak.
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ رِبًا
إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ
وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ رِبًا
إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ
“Emas dengan emas riba kecuali dengan dibayarkan kontan, gandum dengan gandum riba kecuali dengan dibayarkan kontan; kurma dengan kurma riba kecuali dengan dibayarkan kontan; kismis dengan kismis riba, kecuali dengan dibayarkan kontan (HR al-Bukhari dari Umar bin al-Khaththab)
3. Riba An-Nasi’ah
Riba Nasi’ah, adalah tambahan yang disyaratkan oleh orang yang mengutangi dari orang
yang berutang sebagai imbalan atas penangguhan (penundaan) pembayaran utangnya.
Misalnya si A meminjam uang Rp. 1.000.000,- kepada si B dengan perjanjian waktu
mengembalikannya satu bulan, setelah jatuh tempo si A belum dapat mengembalikan
utangnya. Untuk itu, si A menyanggupi memberi tambahan pembayaran jika si B mau
menunda jangka waktunya. Contoh lain, si B menawarkan kepada si A untuk
membayar utangnya sekarang atau minta ditunda dengan memberikan tambahan.
Mengenai hal ini Rasulullah SAW. Menegaskan bahwa:
عَنْ سَمَرَةِ بْنِ جُنْدُبٍ اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّىاللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهى عَنْ بَيْعِ الَحَيَوَانِ بِالْحَيَوَانِ نَسِيْئَةً
“Dari Samrah bin Jundub, sesungguhnya Nabi Muhammad saw. Telah melarang jual beli hewan dengan hewan dengan bertenggang waktu.” (Riwayat Imam Lima dan dishahihkan oleh Turmudzi dan Ibnu Jarud)”
4. Riba Qardhi
Riba Qardhi adalah riba yang terjadi karena adanya proses utang piutang atau
pinjam meminjam dengan syarat keuntungan (bunga) dari orang yang meminjam atau
yang berhutang. Misalnya, seseorang meminjam uang sebesar sebesar Rp.
1.000.000,- (satu juta) kemudian diharuskan membayarnya Rp. 1.300.000,- (satu
juta Tiga ratus ribu rupiah).
Terhadap bentuk
transsaksi seperti ini dapat dikategorikan menjadi riba, seperti sabda
Rasulullah Saw.:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَرِبًا
“Semua piutang yang menarik keuntungan termasuk riba.” (Riwayat Baihaqi).[13]
D. Bunga
Bank dan Riba
Berdasarkan
pada macam-macam riba di atas, tampaknya praktik riba ini terlihat pada sistem
keuangan bank konvensional. Seperti pada masalah meminjamkan uang kepada
nasabah atau nasabah mendepositokan uang di bank. Pihak peminjam biasanya dari
kalangan miskin sedangkan pihak pendeposito adalah orang kaya, peminjam dituntut untuk
membayar bunga sedangkan pendeposito mendapatkan bunga.
Oleh karena itu, adanya transfer kekayaan si miskin kepada si kaya
dan menyebabkan miskin tambah miskin dan kaya tambah kaya
dilarang dalam Islam. Sebab, Islam mengharuskan kekayaan tidak hanya beredar
pada orang-orang kaya (QS Al-Hasyr [59]:7).
Praktik
seperti ini juga dikenal pada jaman jahiliyah dengan praktik riba nasi’ah. Yaitu, transaksi dua orang
yang sama-sama memahami kewajiban dan haknya masing-masing. Pihak peminjam memahami bahwa ada
tambahan sejumlah uang dari pokok modal yang dipinjamkan
sebagai imbalan jangka waktu, yang diberikan kepada orang yang
meminjamkannya.[14]
E. Perbedaan Bunga dan Bagi Hasil
Pada
Desember 2003 Majlis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa tentang bunga bank. Isinya
antara lain sebagai berikut.
- Bunga bank adalah haram karena bunga model ini telah memenuhi syarat-syarat riba yang diharamkan Al-Quran.
- Di daerah yang belum terdapat lembaga keuangan syariah maka lembaga keuangan konvensional tetap diperbolehkan atas dasar darurat
- Orang yang bekerja di lembaga keuangan konvensional diperbolehkan sebelum ia mendapat pekerjaan baru sesuai dengan syariah
Pada
dasarnya fatwa di atas menegaskan bahwa bunga bank adalah riba dan karena itu
hukumnya adalah haram. Konsekuensinya adalah bunga bank
haram bagi umat Islam untuk memanfaatkan jasa perbankan (nonsyariah). Akan tetapi,
fatwa ini disambut dingin oleh umat Islam, tidak ada pertanda
sedikit pun fatwa ini efektif dan diikuti oleh umat Islam.
Misalnya, dalam bentuk pemindahan rekening
simpanan dari perbankan biasa ke perbankan syariah.[15]
Sistem bunga yang diterapkan oleh bank konvensional
dan prinsip syariah dalam perbankan syariah dalam kegiatan pemberian
pinjaman atau pembiayaan kepada masing-masing nasabahnya memiliki beberapa
perbedaan yang cukup prinsip, antara lain:[16]
Pokok
perbedaan
|
Sistem
bunga/konvensional
|
Prinsip
syariah islam
|
Dasar
perjanjian penentuan bunga/imbalan
|
Tidak
berdasarkan keuntungan /kerugian
|
Berdasarkan
keuntungan/kerugian
|
Dasar
perhitungan bunga/imbalan
|
Persentase
tertentu dari pinjaman
|
Nisbah bagi
hasil berdasarkan keuntungan yang diperoleh
|
Kewajiban membayar
bunga/imbalan
|
a. Tetap harus dibayar meskipun usaha
nasabah merugi.
b. Besarnya pembayaran bunga tetap
|
a. Imbalan dibayar bila usaha nasabah
untung. Bila merugi, kerugian di tanggung kedua pihak
b. Besarnya
imbalan disesuaikan keuntungan.
|
Persyaratan
jaminan obyek usaha yang dibiayai
|
Mutlak
diperlukan
Tidak ada
pembatasan jenis usaha sepanjang bankable
|
Tidak mutlak
jenis usaha harus sesuai syariah
|
Kedudukan
sistem bunga berdasarkan prinsip syariah
|
Pengenaan
bunga sifatnya haram
|
Pembayaran
imbalan berdasar bagi hasil adalah halal.
|
F. Hikmah Diharamkannya Riba
Sudah menjadi sunnatullah bagi umat islam bahwa apapun
yang di haramkan oleh Allah begitu banyak mengandung mudharat.
Begitupun dengan diharamkannya riba, adapun bahaya yang terkandung dalam riba sebagaimana
yang di kemukakan oleh Abu Fajar Al Qalami dan Abdul Wahid Al
Banjary adalah:
1. Ia dapat menimbulkan permusuhan antara pribadi dan mengikis
habis semangat kerjasama/saling menolong sesama manusia.
Padahal semua agama terutama islam amat menyeru agar
manusia saling tolong menolong. Di sisi lain Allah membenci
orang yang mengutamakan kepentingan sendiri dan orang yang
memeras hasil kerja keras orang lain.
2. Riba akan menimbulkan adanya
mental pemboros yang malas bekerja. Dapat pula menimbulkan kebiasaan
menimbun harta tanpa kerja keras, sehingga
seperti pohon benalu yang hanya bias menghisap tumbuhan
lain.
3. Riba merupakan cara menjajah.
Karena itu orang berkata, “penjajahan
berjalan dibelakang pedagang dan pendeta. Dan kita telah
mengenal riba dengan
segala dampak negatifnya di dalam menjajah Negara kita.
4. Setelah semua ini,
islam menyeru agar manusia suka mendermakan harta
kepada saudaranya dengan baik,
yakni ketika saudaranya membutuhkan bantuan.[17]
Dalam buku Dr. Hasbiyallah. M.Ag,
disebutkan bahwa hikmah keharaman Riba adalah :
1. Melindungi
harta orang muslim agar tidak dimakan dengan bathil.
2. Memotivasi
orang muslim untuk menginvestasikan hartanya pada usaha – usaha yang bersih
dari penipuan, jauh dari apasaja yang menimbulkan kesulitan dan kemarahan di
antara kaum Muslimin, misalnya dengan membantu para petani, industri, bisnis yang benar, dan lain
sebagainya.
3. Menutup
seluruh pintu bagi orang Muslim yang membawa kepada memusuhi dan menyusahkan
saudaranya.
- Menjauhkan orang Muslim dari sesuatu yang menyebabkan kebinasaan, karena memakan riba pada hakikatnya adalah kezaliman dan akibat dari kezaliman adalah kesusahan.
- Membuka pintu-pintu kebaikan di depan orang Muslim agar ia mencari bekal untuk akhiratnya. Misalnya, dengan memberi pinjaman kepada saudaranya tanpa meminta uang tambahan atas utangnya, memberi tempo waktu kepada peminjam hingga bisa membayar utangnya, memberi kemudahan kepadanya dan menyayanginya karena ingin mendapatkan keridhaan Allah Swt.[18]
G. Produk
Bank Menurut Fiqih Muamalah
1. Produk
Bank Konvesional
Kegiatan
usaha bank dalam melakukan penghimpunan dana masyarakat maupun dalam penyaluran
dana dilakukan prosuksi jasa keuangan. Hal ini karena produksi jasa keuangan
dan bank dapat mempengaruhi peredaran uang di masyarakat, serta berpengaruh
terhadap perekonomian. Oleh karena itu, produksi jasa keuangan bank diatur oleh
peraturan yang sifatnya mengikat dalam kegaitan operasional bank, sehingga
dapat memberikan keamanan bagi masyarakat dalam menyimpan dananya mau bagi
stabilitas ekonomi nasional.
Diantara
prosuk – produk bank, antara lain sebagai berikut :
a. Simpanan
Menurut
UU RI No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Simpanan adalah dana yang
dipercayakan oleh masyarakat kepada bank dalam bentuk giro, deposito berjangka,
sertifikat deposito, tabungan dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan
itu.
Jika
melihat definisi tersebut, Bank Perkreditan Rakyat tidak diperkenankan menghimpun
dana dalam bentuk giro. Dengan demikian, penghimpunan dana hanyalah dalam
bentuk tabungan dan deposito.
b. Giro
Pengertian
giro menurut UU Perbankan RI No 7 tahun 19912 tentang perbankan, yaitu simpanan
yang dapat digunakan sebagai alat pembayaran dan penarikannya dapat dilakukan
setiap saat dengan menggunakan cek. Sarana pembayaran lainnya, atau dengan cara
pemindah bukuan.
c. Cek
Cek
adalah perintah tidak bersyarat dari pemegang rekening kepada bank untuk
membayar sejumlah uang tertentu. Dari definisi tersebut, ada 3 pihak yang
memperoleh manafaat cek yaitu, nasabah, pihak bank, dan pemegang cek.
d. Tabungan
Berdasarkan
UU RI No 7 Tahun 1992, Bab 1 Pasal 1 butir 10. Tabungan adalah simpanan yang
penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati,
tetapi tidak dapat ditarik dengan cek atau alat yang dapat dipersamakan dengan
itu.
e. Deposito
Menurut
UU RI No 7 Tahun 1992 Bab 1 Pasal 1 butir 8 deposito berjangka dalah simpanan
yang penarikannya hanya dapat dilakukan pad waktu tertentu menurut perjanjian
antar penyimpan dan bank yang bersangkutan.
f. dll.
2. Berbagai
Pendapat tentang bank Konvensional
a. Pendapat
syekh Abu Zahra, Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Cairo, Abul A’la Al
– Maududi (Pakistan), Muhammad Abdullah Al –Arabi, penasihat hukum pada Islamic
Congress Cains dan lain – lain, menyatakan bahwa bunga bank termasuk riba
nasi’ah yang dilarang oleh Islam. Oleh karena itu, Umat Islam tidak boleh
bermuamalah dengan bank yang memakai sistem bunga, kecuali kalau dalam keadaan
darurat atau terpaksa. Mereka mengharapkan lahirnya bank Islam yang tidak
memakai sistem bunga sama sekali.
b. Pendapat
A. Hasan, pendiri dan pemimpin Pesantren Bangil (persis), bahwa bunga bank,
seperti di negara kita itu bukan riba yang diharamkan karena tidak bersifat
ganda sebagimana dinyatak dalan QS. Ali – Imran : 130.
c. Tarjih
Muhammadiyyah di Sidoarjo Jawa Timur tahun 1968 memutuskan bahwa bunga bank
yang diberikan oleh bank – bank Negara kepada nasabahnya, demikian pula
sebaliknya, termasuk syubhat atau mutasyabihat, belum jelas halal dan haramnya.
Sesuai dengan petunjuk hadis, kita harus berhati – hati menghadapi masalah yang
masih syubhat. Oleh karena itu, jika kita dalam keadaan terpaksa atau dalam
keadaan hajah, artinya keperluan mendesak, barulah kita diperbolehkan
bermuamalah dengan bank dengan sistem bunga itu sekadarnya saja.[19]
H. Hukum-Hukum yang berkaitan dengan riba
a. Harta yang
berkaitan dengan riba.
Adapun harta
yang berkaitan dengan riba ada 6, emas, perak, gandum, jewawut, semua jenis
kurma, semua jenis biji-bijian atau kacang-kacangan : kacang ful (kedelai),
kacang himmash, beras, jagung, minyak, madu, dan semua jenis daging; daging
unta, daging sapi, daging kambing, semua jenis daging burung, dan semua jenis
daging ikan.
Jenis Barang
Ribawi[20]
Para ahli fiqih Islam telah membahas masalah riba dan
jenis barang ribawi dengan panjang lebar dalam kitab-kitab mereka. Dalam
kesempatan ini akan disampaikan kesimpulan umum dari pendapat mereka yang
intinya bahwa barang ribawi meliputi :
1. Emas, perak, baik itu dalam bentuk uang maupun dalam
bentuk lainnya.
2. Bahan makanan pokok, seperti beras, gandum, dan
jagung, serta bahan makanan tambahan, seperti sayur-sayuran dan buah-buahan.
Dalam kaitannya dengan perbankan syariah, implikasi
ketentuan tukar menukar antar barang-barang ribawi dapat diuraikan sebagai
berikut :
1. Jual beli antara barang-barang ribawi sejenis
hendaklah dalam jumlah dan kadar yang sama. Barang tersebut pun harus
diserahkan saat transaksi jual beli. Misalnya, rupiah dengan rupiah hendaklah
Rp 5.000,- dengan Rp 5.000,- dan diserahkan ketika tukar menukar.
2. Jual beli antara barang-barang ribawi yang berlainan
jenis diperbolehkan dengan jumlah dan kadar yang berbeda dengan syarat barang
diserahkan pada saat akad jual beli. Misalnya Rp 5.000,- dengan 1 dollar
Amerika.
3. Jual beli barang ribawi dengan yang bukan ribawi tidak
disyaratkan untuk sama dalam jumlah maupun untuk diserahkan pada saat akad.
Misalnya, mata uang (emas, perak, atau kertas) dengan pakaian.
4. Jual beli antara barang-barang yang bukan ribawi
diperbolehkan tanpa persamaan dan diserahkan pada waktu akad, misalnya pakaian
dengan barang elektronik.
b. Terjadinya
riba pada jenis-jenis harta yang terkait dengan riba dapat ditinjau dari 3
segi, yairu :
·
Pertama, jual beli
barang yang sejenis, misalnya emas dengan emas, kurma dengan kurma dengan
jumlah yang lebih (berbeda).
·
Kedua, jual beli dua barang yang
berlainan jenisnya, misalnya emas dengan perak, dan gandum dan gandum dengan
kurma, dimana salah satu dari keduanya ada ditempat, sedang yang satunya lagi
tidak ada ditempat.
·
Ketiga, jual beli barang yang
sejenis dengan jumlah yang sama, akan tetapi salah satunya tidak ada ditempat,
dan penyerahannya dittangguhkan seperti menjual emas dengan emas atau kurma
dengan kurma dengan jumlah yang sama, hanya saja salah satunya tidak ada
ditempat.
c. Tidak ada riba
dalam jual beli yang saling meminta dihalalkan dan berbeda jenisnya:
Tidak
termasuk riba, jual beli barang yang berbeda dalam hal harga serta jenisnya,
kecuali jika penyerahan salah satunya ditangguhkan. Jadi diperbolehkan menjual
emas dengan perak dengan jumlah yang berbeda, menjual gandum dengan kurma, atau
menjual garam dengan gandum dalam jumlah yang berbeda, jika hal tersebut
dilakukan secara kontan, yakni penyerahan salah satunya tidak ditangguhkan. Hal
itu berdasarkan sabda Rasulullah saw,
فان اختلفت هذه الاناف فبيعوا كيف شئتم اذا كان يدا بيد
“Jika jenis
barang-barangnya berbeda, maka juallah menurut kehendakmu, jika dilakukan
secara kontan.”
Demikian juga
tidak termasuk riba, yaitu jual beli barang-barang (yang didalamnya kemungkinan
terjadinya riba), dengan pembayaran yang dilakukan secara kontan, baik
barangnya itu ada ditempat transaksi atau tidak ada, baik pembayarannya atau
barangnya diserahkan ditempat transaksi atau tidak, karena Rasulullah Saw pada
saat membeli unta Jabir bin Abdullah disaat bepergian, beliau tidak
membayarnya, kecuali setelah tiba di Madinah. Selain itu, Rasulullah saw pun
membolehkan jual beli dengan cara pemesanan sebagaimana dalam sabdanya, yang
artinya :
“ barangsiapa
yang memesan sesuatu, maka ia harus memesannya dalam takaran dan timbangan yang
diketahui hingga batas waktu tertentu.”
Tetapi dalam
jual beli salam (pemesanan), pembayarannya didahulukan, sedang
penyerahan barangnya dapat ditangguhkan hingga batas waktu yang cukup lama.
d.
Jenis makanan yang tidak
terkait dengan riba
Riba tidak
berlaku pada buah-buahan dan sayur-sayuran yang tidak dapat disimpan lama serta
pada masa lalu tidak termasuk jenis makanan yang ditakar atau ditimbang. Selain
itu tidak termasuk makanan pokok sebagaimana layaknya biji-bijian, buah kurma
dan daging, berdasarkan keterangan dalam hadits shahih yang diriwayatkan dari
Rasulullah saw seperti tersebut diatas.[21]
I. Cara
Menghindari Riba[22]
Sekarang ini terdapat banyak sekali jenis
riba yang entah disadari atau tidak tengah menjamur di masyarakat. Hal ini
menjadi sebuah realitas yang begitu menyedihkan mengingat riba merupakan hal
yang diharamkan. Riba menjadi bagian dari sirkulasi ekonomi yang dianggap perlu
sehingga biasa dilakukan.
Beragam jenis riba yang telah menjadi bagian
sehari-hari dapat dengan mudah ditemukan seperti sewa rumah, kartu kredit atau
bahkan sewa mobil. Riba membuat jumlah uang yang harus dibayarkan totalnya
berubah-ubah tergantung dengan waktu pembayaran serta pada keadaan tertentu.
Seperti yang tertulis dalam Al-quran, tentang
larangan riba:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُّضَاعَفَةً وَاتَّقُوا
اللهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba
dengan berlipat-ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan.” (Q.S.
Ali Imran: 130)
Ada banyak orang yang mengangap riba
merupakan hal biasa yang dapat menguntungkan. Tagihan terutama yang
didalamnya telah melibatkan riba menimbulkan banyak dampak negatif mulai dari
fisik, emosional, psikologi hingga spiritual. Contoh yang paling nyata dalam
kehidupan sehari-hari kita adalah adanya kartu kredit.
Penggunaan kartu kredit yang seharusnya
digunakan untuk mempernyaman hidup malah terjadi sebaliknya. Mereka membuat
pelanggan atau pemakai kartu berhutang pada mereka sehingga mereka dapat
mengenakan bunga yang berlebih atau bahkan hingga tidak dapat dikendalikan pada
para nasabahnya.
Jika sudah demikian, maka nasabah akan
terlilit banyak hutang dengan tingkat bunga yang tinggi. Populernya kartu
kredit umumnya juga tidak terlepas dari sifat konsumtif masyarakat. Banyak dari
mereka yang menerapkan hidup boros sehingga ketika kekurangan uang, mereka akan
mengambil jalan pintas yaitu menggunakan kartu kredit.
Untuk mengatasi hal ini, tentu cukup dengan
menghindari pola pikir konsumtif yang merugikan. Terapkan pola hidup dengan
pengeluaran yang wajar dan masih dapat ditutupi oleh gajian bulanan kita.
Supaya dapat terhindar dari riba anda dapat
menerapkan tips-tips yang berikut ini:
1. Kenali
bahaya riba
Sudah jelas jika di dalam Islam riba
merupakan hal yang haram. Riba membuat seseorang banyak dililit hutang akibat
tingkat bunga yang tinggi. Keberadaan riba membuat hidup kurang nyaman dan
tidak tentram akibat banyaknya hutang yang menumpuk dan harus di bayar.
Uang bulanan atau gajian yang seharusnya
dapat digunakan untuk membeli kebutuhan malah habis digunakan untuk menutupi
bunga yang ada. Dengan beragam bahaya riba tersebut tidak heran jika seseorang
akan merasa gelisah dan banyak pikiran setiap saat.
2.
Cara yang halal bertransaksi
Langkah menghindari riba dapat anda lakukan
dengan cara menggunakan cara yang halal ketika melakukan transaksi. Dalam hal
ini tentu anda diharuskan mengerti betul bagaimana transaksi jual beli yang
haram ataupun yang halal dalam Islam.
Berikut merupakan jual beli yang
diperbolehkan dalam Islam yaitu:
-
Jual Beli dengan Dasar Sukarela.
Jual beli yang
diperbolehkan adalah ketika kedua belah pihak menyetujui aturan yang ditetapkan
oleh kedua belah pihak. Dalam hal ini tentu tidak boleh ada paksaan sehingga
salah satu pihak merasa dirugikan dan tertekan.
-
Berkompeten
Kecakapan atau kompetensi tentu
diperlukan dalam jual beli. Hal ini diperlukan agar tidak ada pihak yang
dirugikan akibat kurang kompeten sehingga pihak lain akan mengambil keuntungan
darinya. Dalam hal ini tentu kejujuran merupakan hal yang penting. Bukan hanya
sebelah pihak saja melainkan kejujuran dibutuhkan dan harus dilakukan oleh
kedua pihak.
-
Barang yang Dijual Telah Memiliki Ijin
Dalam hal ini
adalah kondisi barang yang diperjualbelikan merupakan barang pribadi dan
bukannya milik orang lain. Adapun ketika barang tersebut merupakan milik orang
lain, hendaknya orang yang akan menjualnya telah mendapatkan ijin dari si
pemilik. Asal usul keberadaan barang harus jelas dan bukanlah barang hasil
curian.
-
Barang Halal
Anda tidak boleh menjual barang haram yang
memberi dampak buruk bagi si penjual maupun pembeli. Beragam barang haram yang
tidak boleh diperjualbelikan adalah barang hasil curian, babi, patung, minuman
keras, anjing dan barang-barang haram lainnya.
3. Lakukan transaksi yang diperbolehkan
Transaksi yang diperbolehkan dalam Islam ada
beberapa jenis transaksi, dimana salah satunya adalah transaksi mudharabah.
Transaksi yang satu ini diperbolehkan untuk menghindari datangnya riba.
Transaksi satu ini dapat dilakukan dengan cara kerjasama yang dilakukan oleh
kedua belah pihak.
Salah stau pihak sebagai pemodal dan pihak
lainnya sebagai orang yang menjalankan usaha. Transaksi ini dapat dilakukan
dengan cara membagi hasil sesuai dengan yang disepakati. Ketika terjadi
kerugian maka pihak pemodalah yang harus menanggung biaya kerugian sementara
pihak lain tidak menanggungnya karena usaha dan tenaga yang dia kerahkan menjadi
bagian dari kerugiannya.
Ada beberapa jenis transaksi lain yang dapat
dilakukan untuk menghindari riba yaitu dengan cara salamdan muajjal.
Transaksi salam adalah ketika jual beli dilakukan dengan cara melakukan
pembayaran terlebih dahulu sementara barang yang diinginkan akan diberikan
belakangan. Untuk transaksi muajjal, transaksi jenis ini dapat
dilakukan dengan cara menaikan harga saat berlangsungnya transaksi.
4. Berhutang pada lembaga khusus
Sekarang telah ada beberapa lembaga khusus
yang menangani utang piutang tanpa riba. Hal ini dilakukan dalam rangka
mewujudkan solidaritas antar umat. Selain masalah hutang piutang, maka bagi
anda yang ingin menyimpan uang sebaiknya tidak menggunakan bank yang memberi
bunga di dalamnya. Carilah bank syariah yang dijalankan dengan cara islami.
5. Saling membantu
Saling bantu merupakan hal baik yang dapat
dilakukan untuk menghindari riba. Ketika masyarakat saling bantu tentu taraf
kehidupan dengan sendirinya akan terangkat sehingga kebutuhan ekonomi serta
kesulitannya dapat teratasi.
Perbanyak sedekah dan membantu orang fakir merupakan hal baik yang tidak menyebabkan uang atau harta kita berkurang dan malah kebalikannya.
6. Menanamkan sifat qonaah pada
diri sendiri
Memiliki sifat
qonaah dapat menghindarkan kita dari bahaya riba. Sifat qonaah dapat dilakukan
dengan senantiasa bersukur atas apapun yang diberikan kepada anda. Sifat
bersukur membantu anda agar terhindar dari perasaan serba kekurangan dan ingin
hidup dalam kemewahan. Rasa ingin memiliki sesuatu dan mudah iri dengan apa
yang dimiliki oleh orang membuat kita dengan mudah membeli barang walau dengan
cara berhutang.
Berhenti menatap keatas dan mulailah melihat
kebawah. Hal ini menghindarkan anda dari rasa kurang dan akan mulai bersukur
anda tidak berada pada kondisi yang sangat kekurangan. Perlu diingat jika
diluar sana ada banyak sekali orang yang kekurangan bahkan lebih dari kita.
BAB III
PENUTUPAN
Simpulan
Berdasarkan uraian diatas dapat
disimpulkan bahwa:
Riba
menurut istilah ahli fiqih adalah
penambahan pada salah satu dari dua ganti yang sejenis tanpa ada ganti dari
tambahan ini. Riba terbagi 4, yaitu riba fadl, al-yadd,
qardhi, an-nasi’ah. Dimasa sekarang ini riba banyak ditemukan di bank
konvensional. Riba ini hukumnya diharamkan. Karena dampaknya sangat buruk bagi
umat manusia. Misalnya saja dampak riba bagi ekonomi ialah Semakin tinggi suku bunga, semakin tinggi juga harga yang akan
ditetapkan pada suatu barang. Dampak lainnya adalah bahwa utang,
dengan rendahnya tingkat penerimaan peminjam dan tingginya biaya bunga, akan
menjadikan peminjam tidak pernah keluar dari ketergantungan, terlebih lagi bila
bunga atas uang tersebut dibungakan.
Saran
Agar kita tetap menjadi muslim yang berpegang
teguh pada syariat Islam, kita sebaiknya dapat menahan diri dan menjauhi segala
larangan Allah SWT. Dengan memperkuat iman kita kepada Allah SWT, kita dapat
hidup tenang, bahagia di dunia maupun di akhirat. Dan semoga dengan mempelajari Riba ini, kita
dapat mengetahui makna dan mudharatnya dari Riba itu sendiri. Dan berusaha
untuk menghindar dari Riba tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Aziz Muhammad Azim. 2010. Fiqh Muamalat. Jakarta: Amzah
Abu Fajar Al Qalamidan Abdul Wahid Al Banjary. Tuntunan
jalan lurus dan ___________benar. (tanpa kota dan tahun terbit:
Gitamedia Press) dalam http://www.islahilwathon.ga/2014/06/makalah-fiqih-muamalah-tentang-riba_7.html
Abdul Rahman Ghazaly,dkk. 2010. Fiqh Muamalat. Jakarta:Kencana Prenada ___________Media Group
Hasbiyallah. 2014. Sudah
Syar’ikah Muamalahmu?. Yogyakarta : Salma Idea
Suhendi,Hendi.2005. Fiqih Muamalah. Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada
Syafei, Rachmat. 2001. Fiqih
Muamalah. Bandung : CV. Pustaka Setia
Syaikh Abu Bakar Jabir
al-Jaza’iri. Cet.VI tahun 1419 H. Minhajul Muslim. Madinah : Maktabah
al-Ulum wa al-Hikam
http://arp-rabbani.blogspot.co.id/2011/09/jenis-jenis-riba-barang-ribawi.html
ifuddream.blogspot.co.id/2016/01/makalah-riba-dan-bunga-bank.html?m=1
[1] Dr. Hasbiyallah.M.Ag., Sudah
Syar’ikah Muamalahmu?, (Yogyakarta: Salma Idea ,2014), hlm.20
[4] Dr. Hasbiyallah. M.Ag., Sudah
Syar’ikah Muamalahmu?, (Yogyakarta : Salma Idea, 2014), hlm. 21
[6] Ibid. Hlm.217
[8] Prof.Dr.H.Abdul Rahman
Ghazaly,MA,dkk, Fiqh Muamalat, (Jakarta:Kencana Prenada
Media Group,2010), hlm.221
[10] Prof.Dr.H.Abdul Rahman
Ghazaly,MA,dkk.Fiqh Muamalat.(Jakarta:Kencana Prenada Media Group,2010), hlm. 221
[12] Dr. Hasbiyallah.
M.Ag, Sudah Syar’ikah Muamalahmu. (Yogyakarta : Salma Idea, 2014),
hlm.27
[13] Prof.Dr.H.Abdul Rahman Ghazaly,MA,dkk.Fiqh
Muamalat.(Jakarta:Kencana Prenada Media Group,2010).hlm. 220
[14] Dr. Hasbiyallah.
M.Ag, Sudah Syar’ikah Muamalahmu?, (Yogyakarta : Salma Idea, 2014),
hlm.27
[15] Dr. Hasbiyallah. M.Ag., Sudah
Syar’ikah Muamalahmu, (Yogyakarta : Salma Idea, 2014), hal.31
[16]
ifuddream.blogspot.co.id/2016/01/makalah-riba-dan-bunga-bank.html?m=1 di akses
pada Jumat, 29 September 2017 pukul 11.02 WIB.
[17] Abu Fajar Al
Qalamidan Abdul Wahid Al Banjary, Tuntunan jalan lurus dan benar, (tanpa
kota dan tahun terbit: Gitamedia Press), hal. 380 dalam
http://www.islahilwathon.ga/2014/06/makalah-fiqih-muamalah-tentang-riba_7.html
[18] Dr. Hasbiyallah. M.Ag., Sudah
Syar’ikah Muamalahmu, (Yogyakarta : Salma Idea, 2014), hal. 32
[19] Prof. Dr. H. Rachmat Syafe’I, MA, Fiqih Muamalah, (Bandung : CV. Pustaka
Setia, 2001), hlm. 274
[20] http://arp-rabbani.blogspot.co.id/2011/09/jenis-jenis-riba-barang-ribawi.html di akses pada Kamis, 5 Oktober 2017
pukul 2.10 WIB.
[21] Syaikh Abu Bakar Jabir al
– Jaza’iri, Minhajul Muslim, (Jakarta : Darul Haq, 2009),hal. 654
Di akses pada Kamis, 5 Oktober
2017 pukul 02.30 WIB.
Komentar
Posting Komentar