Syirkah, Mudharabah dan Qiradh (Fikih Muamalah Jinayah)



MATERI FIQIH MUAMALAH DAN JINAYAH
Dosen:
Dr. Hasbiyallah, M. Ag






Kelompok 3:
Teti Fitriyani    :1162020216
Toni Fajar Riswanto     :1162020221
Wulan Sari Maryam     :1162020232
PAI III F
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
2017






KATA PENGANTAR

Alhamdulillah Puji Syukur Kehadirat Allah SWT Karena Berkat Limpahan Rahmat-Nya Kami Dapat Menyelesaikan Makalah Ini Dengan Baik. Shalawat Serta Salam Selalu Tercurah Limpahkan Kepada Nabi Muhammad SAW Beserta Keluarga Dan Para Shabatnya, Atas Jasa Beliau Kita Sebagai Ummat Islam Bisa Melihat Dunia Ini Dipenuhi Akhlak Yang Mulia, Rahmat Dan Kasih Sayang Yang Selalu Tumbuh Diantara Ummatnya.
            Ucapan Terimakasih Kami Berikan Kepada Bapak Dr. Hasbiyallah, M. Ag selaku dosen pengampuh mata kuliah materi fiqih muamalah dan jinayah, Teman-Teman Seperjuangan Yang Turut Memberi Motivasi Dan Saran Kepada Kami Dan Tak Lupa Kepada Semua Pihak Yang Tidak Bisa Kami Sebutkan Satu Persatu.
Kami Menyusun Makalah Materi  Syirkah, Qiradh Dab Mudharabah Dalam Rangka Agar Para Pembaca Dapat Menambah Wawasan Pengetahuan Tentang Fiqih Muamalah.
Didalam Penyusunan Makalah Ini Tidak Terlepas Dari Kekeliruan, Maka Kami Menyadari Sepenuhnya Bahwa Masih Terdapat Kekurangan Baik Dari Segi Penyusunan Bahasa Dan Aspek Lainnya. Oleh Karena Itu, Dengan Lapang Dada Kami Membuka Kritik Dan Saran Demi Memperbaiki Makalah Ini. Kami Mengharapkan Semoga Makalah Ini Dapat Memberi Manfaat Dan Menginspirasi Para Pembacanya.








                                                                                                            Bandung, 12Oktober 2017

                                                                                                                        Penulis

DAFTAR ISI

Kata Pengantar............................................................................................................
Daftar Isi ....................................................................................................................
1.      BAB I Pendahuluan ...................................................................................................
a.       Latar Belakang ...........................................................................................................
b.      Rumusan Masalah ......................................................................................................
c.       Tujuan .......................................................................................................................
2.      BAB II Pembahasan                   .................................................................................
1.      Syirkah
A.     Pengertian Syirkah......................................................................................................
B.     Hukum Syirkah...........................................................................................................
C.     Rukun dan Syarat Syirkah..........................................................................................
D.     Macam-Macam Syirkah..............................................................................................
E.      Hal –Hal Yang Membatalkan Syirkah.........................................................................

2.      MUDHARABAH DAN QIRADH
A.    Pengertianmudharabah dan qiradh ...............................................       .................................              
B.     Landasan Hukum .....................................................................................................
C.     Pertentangan Yang Biasa Terjadi Antara Pemilik Modal dan
Pengusaha ................................................................................................................
D.    Qiradh Jenis Deposito ........................................................................................................
E.     Hikmah bermuamalah dengan Qiradh................................................................................

3.      BAB III Penutup
A.     Kesimpulan ...........................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Berlakang
Allah telah menurunkan kitab-kitab terdahulu untuk dijadikan pedoman hidup pada masa itu,seperti kitab zabur untuk kaum Nabi Daud, kitab Taurat untuk Nabi Mussa, kitab Injil untuk nabi isa.lquran adalah kalam allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.yang harus dijadikan pedoman tidak hanya untuk umat islam tetapi untuk seluruh umat diakhir zaman
Kata muamalat berasal dari bahasa arab muamalat (المعاملة) yang merupakan derifasi (bentukan) dari kata عا ملا –يعامل- معاملة  yang menurut bahasa memiliki arti saling bertindak, berbuat, pekerjaan, pergaulan, sosial (sosail intercous), bisnis (business ) dan transaksi (transaction.)
Secara terminologi (istilah) pengertian fiqih muamalah dibagi dalam dua macam yaitu pengertian fiqih muamalah dalam arti luas dan pengertian fiqih muamalah dalam arti sempit. Fiqih muamalah dalam arti luas adalah aturan hukum islam yag berkaitan dengan tindakan hukum manusia dalam persoalan keduniaan, seperti jual beli, gadai, perdagangan sewa dan lainnya. Fiqih muamalah dalam arti luas mencakup segala aturan hukum islam yang berkaitan dengan hubungan antar manusia  (hablum minannas).

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian syirkah?    
2.      Apa Hukum Syirkah?
3.      Rukun dan Syarat Syirkah?
4.      Macam-Macam Syirkah?
5.      Bagaimana hikmah syirkah?
6.      Apa saja Hal –Hal Yang Membatalkan Syirkah?
7.      Apa Pengertian Mudhabarah dan Qiradh?
8.      Landasan Hukum?
9.      Pertentangan Yang Biasa Terjadi Antara Pemilik Modal dan Pengusaha?
10.  Seperti apa Qiradh Jenis Deposito?
11.  Bagaimana  Hikmah bermuamalah dengan Qiradh?

C.      Tujuan
·         Untuk mengetahui bagaimana syirkah, mudharabah dan qiradh.
·         Mampu menjelaskan penjelasan yang leb

BAB II
PEMBAHASAN
1.      SYIRKAH
A.      Pengertian Syirkah
Secara etimologi, syirkah atau perkongsian berarti:
الاِخْتِلاَطُ اَيْ خَلْطُ اَحَدِ الْمَالَيْنِ بِالاَخِرِ بِحَيْثُ لاَيَمءتَزَانِ عَنْ بَعْضِهَا
"percampuran, yakni bercampunya salah satu dari dua harta dengan harta lainnya tanpa dapat dibedakan antara keduanya.[1]
Syirkah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (amal/ expertise) dengan kesepakatan, bahwa keuangan dan resiko ditanggung bersama.
Sedangkan menurut istilah terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama.
1.Menurut Hanafiah
عِبَارَةٌ عَنْ عَقْدِ بَيْنَ المُتَشَارِ:َيْنِ فِى رَأْسِ المَالِ وَالرُبْحِ
“Syirkah adalah suatu ungkapan tentang akad (perjanjian) antara dua orang yang berserikat didalam modal dan keuntungan”.
2.Menurut Malikiyah
 هِيَ اِذَنْ فيِ التَّصَرُّفِ لَهُماَ مَعاً اَنْفُسُهُماَ اَيْ ياَّنَ كُلَّ وَاحِدٍ مِنَ الشِّرِكَيْنِ لِصَاحِبِهِ فِي اَنْ يَتَصَرَّفَ فِي مَالِ لَهُما  مَعَ اِبْقَاءِ حَقِّ التَّصَرُّفِ لِكُلِّ مِنْ هُماَ
“Perkongsian adalah izin untuk mendayagunakan (tasharruf) harta yang dimiliki dua orang secara bersama-sama oleh keduanya, yakni keduanya saling mengizinkan kepada salah satunya untuk mendayagunakan harta milik keduanya, namun masing-masing memiliki hak untuk bertasharruf”.
3.Menurut Syafi’iyah
ثُبُوْتُ الحَقِّ فِ شَيْءٍ لاِثْنَيْنِ فَاَكْثَرَ عَلَى جِهَةِ الشُيُوْعِ 
“Ketetapan
Dari definisi yang dikemukakan oleh beberapa para ulama mengenai pengertian dari syirkah bahwa yang dimaksud dengan syirkah adalah kerja sama antara dua orang atau lebih dalam bidang usaha atau modal yang masing-masing dari harta yang melakukan syirkah tersebut berbaur menjadi satu tanpa ada perbedaan satu dengan yang lainnya yang keuntungan dan kerugiannya di tanggung bersama sesuai kesepakatan yang telah di laksanakan.
Transaksi syirkah dilandasi adanya keinginan para pihak yangbekerja sama untuk meningkatkan nilai aset yang mereka miliki secara bersama-sama. Termasuk dalam golongan musyârakah adalah semua bentuk usaha yang melibatkan dua pihak atau lebih di mana mereka secara bersama-sama memadukan seluruh bentuk sumber daya, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud. Melalui

akad ini, kebutuhan nasabah untuk mendapatkan tambahan modal kerja dapat terpenuhi setelah mendapatkan pembiyaan dari bank.
Selain digunakan untuk pembiyayan modal kerja, secara umum pembiyayaan musyarakah digunakan untuk pembelian barang investasi dan pembiyayaan proyek, bagi bank, pembiyayaan musyârakah dan memberi manfaat berupa keuntungan dari hasil pembiyayaan usaha.[2]
B. Hukum Syirkah
Syirkah  hukumnya diperbolehkan atau disyari’atkan  berdasarkan Al-Qur’an, Al-Hadits dan ijma’ (konsensus) kaum muslimin. Dan berikut ini kami sebutkan dalil-dalilnya, di antaranya:
1. Al-Qur’an
 ....وَاِنَّ كَثِيْرًا مِنَ الخُلَطاَءِ لَيَبْغِي بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ اِلاَّ الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَعَمِلُوْا الصَّالِحَاتِ وَقَلِيْلٌ مَاهُمْ....(ص:24)
Firman Allah Ta’ala: “Dan Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini.” (QS. Shaad: 24)
Dan firman-Nya pula:
 فَهُمْ شُرَكَاءُ فِى الثُّلُثِ....(النساء:12)
“Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu.” (QS. An-Nisa’: 12)
Kedua ayat di atas menunjukkan perkenanan dan pengakuan Allah akan adanya perserikatan dalam kepemilikan harta. Hanya saja dalam surat An-Nisa’ ayat 12 perkongsian terjadi secara otomatis karena waris, sedangkan dalam surat Shaad ayat 24 terjadi atas dasar akad (transaksi).
2. Hadits
 يَخُنْ أَحَدُهُمَا صَاحِبُهُ فَاِذَا خَانَهُ خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهَا (رواه ابوداود والحاكم وصححه اسناده)
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah azza wa jalla berfirman: “Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah satunya tidak mengkhianati pihak lainnya. Kalau salah satunya berkhianat, Aku keluar dari keduanya.” (HR. Abu Daud no.3383, dan Al-Hakim no.2322).
3. .Ijma’
Ijma’ ulama mengatakan, bahwa muslimin telah berkonsensus akan legitimasi syarikah secara global, walaupun perbedaan pendapat dalam beberapa elemen dari padanya. Maka secara tegas dapat dikatakan bahwa kegitan syirkah dalam usaha diperbolehkan dalam islam, sebagai dasar hukumnya telah jelas dan tegas.
Ibnu Qudamah dalam kitabnya, al-Mughni, telah berkata, “Kaum muslimin telah berkonsensus terhadap legitimasi musyarakah secara global walaupun terdapat perbedaan dalam beberapa elemen darinya.


C. Rukun dan Syarat Syirkah
Rukun syirkah adalah sesuatu yang harus ada ketika syirkah itu berlangsung. Ada perbedaan terkait dengan rukun syirkah. Menurut ulama Hanafiyah rukun syirkah hanya ada dua yaitu ijab (ungkapan melakukan penawaran perserikatan) dan kabul (ungkapan penerimaan perserikatan), istilah ijab dan kabul sering disebut dengan serah terima. Jika ada yang menambahkan selain ijab dan kabul dalam rukun syirkah seperti adanya kedua orang yang berakad dan objek akad menurut Hanafiyah itu bukan termasuk rukun tetapi termasuk syarat.
Syarat-syarat yang berhubungan dengan syirkah menurut Hanafiyah dibagi menjadi empat bagian, sebagai berikut.
1.      Sesuatu yang bertalian dengan semua bentuk syirkah, baik dengan harta maupun dengan yang lainnya. Dalam hal ini terdapat dua syarat, yaitu; a) berkenaan dengan benda, maka benda yang diakadkan harus dapat diterima sebagai perwakilan, dan b) berkenaan dengan keuntungan, yaitu pembagian keuntungan harus jelas dan dapat diketahui dua pihak.   
2.      Semua yang bertalian dengan syirkah mâl. Dalam hal ini terdapat dua perkara yang harus dipenuhi, yaitu; a) bahwa modal yang dijadikan objek akad syirkah adalah dari alat pembayaran (nuqud), seperti junaih, riyal dan rupiah, dan b) benda yang dijadikan modal ada ketika akad syirkah dilakukan, baik jumlahnya sama maupun berbeda.
3.      Sesuatu yang bertalian dengan syirkah mufawadhah, bahwa disyaratkan; a) modal (harta pokok) harus sama, b) orang yang bersyirkah adalah ahli untuk kafalah, dan c) orang yang dijadikan objek akad, disyaratkan melakukan syirkah umum, yakni pada semua macam jual beli atau perdagangan.
4.      Adapun syarat yang bertalian dengan syirkah ‘inan sama dengan syarat syirkah mufâwadhah.
Menurut Malikiyah, syarat-syarat yang bertalian dengan orang yang melakukan akad ialah merdeka, baligh, dan pintar (rusyd). Imam Syafi’i berpendapat bahwa syirkah yang sah hukumnya hanyalah syirkah ‘inan, sedangkan syirkah yang lainnya batal. Akad syirkah ada kalanya hukumnya shahih ataupun fasid. Syirkah fasid adalah akad syirkah di mana salah satu syarat yang telah disebutkan tidak dipenuhi, jika semau syarat sudah terpenuhi maka syirkah dinyatakan shahih.
D. Macam-Macam Syirkah
1.Syirkah Amlâk (Hak Milik)
Yaitu perserikatan dua orang atau lebih yang dimiliki melalui transaksi jual beli, hadiah, warisan atau yang lainnya. Dalam bentuk syirkah seperti ini kedua belah pihak tidak berhak mengusik bagian rekan kongsinya, ia tidak boleh menggunakannya tanpa seijin rekannya.
Menurut Sayyid Sabiq, yang dimaksud dengan syirkah amlâk adalah bila lebih dari satu orang memiliki suatu jenis barang tanpa akad baik bersifat ikhtiâri atau jabari.
Syirkah milk juga dibagi menjadi menjadi dua yaitu:
a.       Syirkah milk jabr, ialah berkumpulnya dua orang atau lebih dalam pemilikan suatu benda secara paksa
b.      Syirkah milk al-ikhtiyar, ialah ibarat kesepakatan dua orang atau lebih untuk menyerahkan harta mereka masing-masing supaya memperoleh hasil dengan cara mengelola harta itu, bagi setiap yang berserikat memperoleh bagian yang ditentukan dari keuntungan.
Syirkah milk tercipta karena warisan, wasiat atau kondisi lain yang mengakibatkan pemilikan satu aset oleh dua orang atau lebih. Dalam musyarakah ini, kepemilikan dua orang atau lebih terbagi dalam dua aset nyata dan berbagi dari keuntungan yang dihasilkan aset tersebut.
Misalnya: Si A dan si B diberi wasiat atau hadiah berupa sebuah mobil oleh seseorang dan keduanya menerimanya, atau membelinya dengan uang keduanya, atau mendapatkannya dari hasil warisan, maka mereka berdua berserikat dalam kepemilikan mobil tersebut.
2. Syirkah Uqûd (Transaksional/kontrak)
Yaitu akad kerja sama antara dua orang yang bersekutu dalam modal dan keuntungan, artinya kerjasama ini didahului oleh transaksi dalam penanaman modal dan kesepakatan pembagian keuntungan. Misalnya, dalam transaksi jual beli atau lainnya. Bentuk syirkah seperti inilah yang hendak kami bahas dalam tulisan kali ini.
Dalam syirkah seperti ini, pihak-pihak yang berkongsi berhak menggunakan barang syirkah dengan kuasa masing-masing. Dalam hal ini, seseorang bertindak sebagai pemilik barang, jika yang digunakan adalah miliknya. Dan sebagai wakil, jika barang yang dipergunakan adalah milik rekannya.
Macam-Macam Syirkah Uqûd (Transaksional/kontrak)
Berdasarkan penelitian para ulama fikih terdahulu terhadap dalil-dalil syar’i, bahwa di dalam Islam terdapat lima macam syarikah, yaitu:
a.      Syirkah al-‘inân
Yaitu penggabungan harta atau modal dua orang atau lebih yang tidak selalu sama jumlahnya. Boleh satu pihak memiliki modal lebih besar dari pihak yang lain.Sementara itu, Ibn Qudamah sebagaimana dikutip oleh Muhammad Abdurrahman Sadique menyebutkan bahwa syirkah al-‘inân adalah kerjasama dua orang atau lebih dalam hal modal yang dilaksanakan oleh mereka yang berserikat dalam hal modal tersebut sementara hasilnya dibagi bersama.
Keuntungan dibagi dua sesuai presentase yang telah disepakati maupun kerugiannya. Sesuai dengan kaidah:
“keuntungan dibagi sesuai kesepakatan dan kerugian ditanggung sesuai dengan modal masing-masing”.
Dan hukum syirkah ini diperbolehkan berdasarkan konsensus para ulama, sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu al-Mundzir.
Contoh syirkah inân: A dan B pengrajin atau tukang kayu. A dan B sepakat menjalankan bisnis dengan memproduksi dan menjualbelikan meubel. Masing-masing memberikan konstribusi modal sebesar Rp.50 juta dan keduanya sama-sama bekerja dalam syirkah tersebut. Dalam syirkah ini, disyaratkan modalnya harus berupa uang (nuqûd); sedangkan barang (‘urûdh), misalnya rumah atau mobil, tidak boleh dijadikan modal syirkah, kecuali jika barang itu dihitung nilainya pada saat akad.
Keuntungan didasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha (syarîk) berdasarkan porsi modal. Jika, misalnya, masing-masing modalnya 50%, maka masing-masing menanggung kerugian sebesar 50%. sebagaimana kaidah fikih yang berlaku, yakni (Ar-Ribhu ‘Alâ mâ Syarathâ wal Wadhii’atu ‘Alâ Qadril Mâlain).
Diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam kitab Al-Jâmi’, bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Kerugian didasarkan atas besarnya modal, sedangkan keuntungan didasarkan atas kesepakatan mereka (pihak-pihak yang bersyirkah).”
b.      Syirkah al-abdân
Yaitu perserikatan dalam bentuk kerja yang hasilnya dibagi bersama sesuai dengan kesepakatan, tanpa konstribusi modal (mâl), seperti kerja sama sesama dokter di klinik, tukang besi, kuli angkut atau sesama arsitek untuk menggarap sebuah proyek, atau kerja sama dua orang penjahit untuk menerima order pembuatan seragam sekolah dan sebagainya.Kerja sama semacam ini dibolehkan menurut kalangan Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah, namun imam Syafi’i melarangnya.
Contohnya: A dan B. keduanya adalah nelayan, bersepakat melaut bersama untuk mencari ikan. Mereka sepakat pula, jika memperoleh ikan dan dijual, hasilnya akan dibagi dengan ketentuan: A mendapatkan sebesar 60% dan B sebesar 40%.
Syirkah ‘abdân hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah. Dari Abdullah binMas’udradhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku pernah berserikat dengan Ammar bin Yasir dan Sa’ad bin Abi Waqash mengenai harta rampasan perang pada Perang Badar. Sa’ad membawa dua orang tawanan, sementara aku dan Ammar tidak membawa apa pun.” (HR. Abu Dawud, An-Nasa’i dan Ibnu Majah)
c.       Syirkah al-mudârabah
Yaitu, persetujuan seseorang sebagai pemilik modal (investor) menyerahkan sejumlah modal kepada pihak pengelola (mudhârib) dalam suatu perdagangan tertentu yang keuntungannya dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama. Adapun kerugiannya ditanggung oleh pemilik modal saja.
Menurut jumhur ulama (Hanafiyah, malikiyah, Syafi’iah, Zahiriyah, dan Syiah Imamiyah) tidak memasukkan transaksi mudharabah sebagai salah satu bentuk perserikatan, karena mudharabah menurut mereka merupaka akad tersendiri dalam bentuk kerja sama yang lain yang tidak dinamakan dengan perserikatan.
Syarat-syarat mudârabah antara lain:
1.      Modal harus dinyatakan dengan jelas mengenai jumlahnya.
2.      Modal harus diserahkan kepada mudârib untuk memungkinkannya melakukan usaha
3.      Modal harus dalam bentuk tunai bukan utang
4.      Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam persentase dari keuntungan yang mungkin dihasilkan nanti
5.      Kesepakatan ratio persentase harus dicapai melalui negosiasi dan dituangkan dalam kontrak
6.      Pembagian keuntungan baru dapat dilakukan setelah mudârib mengembalikan seluruh atau sebagian modal kepada shahib a-mâl
d.      Syirkah al-wujûh
Yaitu kerja sama antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi dan nama baik serta ahli dalam bisnis atau perserikatan tanpa modal. Mereka membeli barang secara kredit (hutang) dari suatu perusahaan dan menjual barang tersebut secara tunai, lalu keuntungan yang didapat dibagi bersama atas dasar kesepakatan di antara mereka.
Syirkah semacam ini juga dibolehkan menurut kalangan hanafiyah dan hanbaliyah, namun tidak sah menurut kalangan Malikiyah, Syafi’iyah dan Zhahiriyah.
Disebut syirkah wujûh karena didasarkan pada reputasi (wajâhah) kepercayaan (amânah), kedudukan, ketokohan, atau keahlian seseorang di tengah masyarakat. Tak seorang pun memiliki modal, namun mereka memiliki nama baik, sehingga mereka membeli barang secara hutang dengan jaminan nama baik tersebut.
Contohnya: A dan B adalah tokoh yang dipercaya pedagang. Lalu A dan B ber-syirkah wujûh, dengan cara membeli barang dari seorang pedagang (misalnya C) secara kredit. A dan B bersepakat, masing-masing memiliki 50% dari barang yang dibeli. Lalu keduanya menjual barang tersebut dan keuntungannya dibagi dua, sedangkan harga pokoknya dikembalikan kepada C (pedagang). Dalam syirkah wujûh ini, keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan, bukan berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki; sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki, bukan berdasarkan kesepakatan.
e.syirkah al-mufâwadhah.
Yaitu kerja sama antara dua orang atau lebih. Setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Setiap pihak membagi keuntungan dan kerugian secara sama.
Syirkah Mufâwadhah juga merupakan syirkah komprehensif yang dalam syirkah itu semua anggota sepakat melakukan aliansi dalam semua jenis kerja sama, seperti ‘înan, abdân dan wujûh. Di mana masing-masing menyerahkan kepada pihak lain hak untuk mengoperasikan segala aktivitas yang menjadi komitmen kerja sama tersebut, seperti jual beli, penjaminan, penggadaian, sewa menyewa, menerima tenaga kerja, dan sejenisnya. Atau syirkah ini bisa pula diartikan kerja sama dalam segala hal.
 Namun tidak termasuk dalam syirkah ini berbagai hasil sampingan yang didapatkannya, seperti barang temuan, warisan dan sejenisnya. Dan juga masing-masing tidak menanggung berbagai bentuk denda, seperti mengganti barang yang dirampas, ganti rugi syirkah , mengganti barang-barang yang dirusak dan sejenisnya.
Dengan demikian, syarat utama dari Syirkah ini adalah kesamaan dalam hal-hal berikut: Dana (modal) yang diberikan, kerja, tanggung jawab, beban utang dibagi oleh masing-masing pihak, dan agama
Hukum Syirkah ini dalam pengertian di atas dibolehkan menurut mayoritas ulama seperti Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah. Sebab, setiap jenis syirkah yang sah ketika berdiri sendiri, maka sah pula ketika digabungkan dengan jenis syirkah lainnya. Namun, imam asy-Syafi’i melarangnya karena sulit untuk menetapkan prinsip persamaan modal, kerja dan keuntungan dalam perserikatan ini.
Adapun keuntungan yang diperoleh dalam syirkah ini dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan jenis syirkah-nya; yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai porsi modal (jika berupa syirkah‘inân), atau ditanggung pemodal saja (jika berupa syirkah mudhârabah), atau ditanggung mitra-mitra usaha berdasarkan persentase barang dagangan yang dimiliki (jika berupa syirkah wujûh).
Contohnya: A adalah pemodal, berkonstribusi modal kepada B dan C, dua insinyur teknik sipil, yang sebelumnya sepakat, bahwa masing-masing berkonstribusi kerja. Kemudian B dan C juga sepakat untuk berkonstribusi modal, untuk membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada B dan C
Dalam hal ini, pada awalnya yang ada adalah syirkah ‘abdân, yaitu ketika B dan C sepakat masing-masing ber-syirkah dengan memberikan konstribusi kerja saja. Lalu, ketika A memberikan modal kepada B dan C, berarti di antara mereka bertiga terwujud syirkah mudhârabah. Di sini A sebagai pemodal, sedangkan B dan C sebagai pengelola. Ketika B dan C sepakat bahwa masing-masing memberikan konstribusi modal, di samping konstribusi kerja, berarti terwujud syirkah‘inân di antara B dan C. Ketika B dan C membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, berarti terwujud syirkah wujûh antara B dan C. Dengan demikian, bentuk syirkah seperti ini telah menggabungkan semua jenis syirkah yang ada, yang disebut syirkah mufâwadhah.
E. Hal –Hal Yang Membatalkan Syirkah
1. Sebab-sebab yang membatalkan syirkah secara umum
a.       Pembatalan oleh salah seorang anggota serikat. Hal tersebut dikarenakan akad syirkah merupakan akad yang jâiz dan ghair lâzim, sehingga memungkinkan untuk di-fasakh.
b.      Meninggalnya salah seorang anggota serikat.
c.       Murtadnya salah seorang anggota serikat dan berpindah domisilinya ke darul harb. Hal ini disamakan dengan kematian.
d.      Gilanya peserta yang terus-menerus, karena gila menghilangkan status wakil dari wakâlah, sedangkan syirkah mengandung unsur wakâlah.
2.Sebab yang membatalkan syirkah secara khusus
a.       Rusaknya harta syirkah seluruhnya atau harta salah seorang anggota serikat sebelum digunakan untuk membeli dalam syirkah amwâl
b.      Tidak terwujudnya persamaan modal dalam syirkah mufâwadhah ketika akad akan dimulai.
Hal tersebut karena adanya persamaan antara modal pada permulaan akad merupakan syarat yang penting untuk keabsahan akad.
2.      MUDHARABAH DAN QIRADH
A.     Pengertian Mudhabarah dan Qiradh
            Mudharabah atau qiradh termasuk salah satu bentuk akad syirkah (perkongsian, kerjasama). Istilah mudhabarah digunakan oleh orang Irak, sedangkan orang Hijaz menyebutnya dengan istilah qiradh. Dengan demikian, mudhabarah dan qiradh adalah dua istilah untuk maksud yang sama.
Menurut bahasa qiradh القِرَاضُ  berasal dari kata القَرءضُ yang berarti القَطْعُ (potongan), sebab pemilik memberikan potongan dari hartanya untuk diberikan kepada pengusaha agar mengusahakan harta tersebut dan pengusaha akan memberikan potongan dari laba yang diperoleh. Bisa juga diambil dari kata muqaradhah المُقَارَضَة yang berarti المُسَاوَرَةُ (kesamaan), sebab pemilik modal dan pengusaha memiliki hak yang sama terhadap laba.
Orang Irak menyebutnya dengan istilah mudharabah المُضَارَبَةُ, sebabكُلٌّ مِنَ العاَقِدَينِ يضِرِبُ بِسَهْمِ الرّبْحِ  setiap yang melakukan akad memiliki bagian dari laba atau pengusaha harus mengadakan perjalanandalam mengusahakan harta modal tersebut. Perjalan tersebut dinamakan ضَرْبًافِي السَّفَرِ
Mudharabah menurut istilah salah satu ulama fiqih berpendapat:
“Pemilik harta (modal) menyerahkan modal kepada pengusaha untuk berdagang dengan modal tersebut dan laba dibagi diantara keduanya berdasarkan persyaratan yang disepakati.”
Apabila rugi, hal itu ditanggung oleh pemilik modal. Dengan kata lain, pekerja tidak bertanggung jawab atas kerugiannya. Kerugian pengusaha hanyalah dari kesungguhan dan pekerjaannya yan tidak akan mendapat imbalan jika rugi.
Maka dapat diketahui bahwa modal boleh berupa barang yang tidak dapat dibayarkan, seperti rumah. Begitu pula tidak boleh berupa hutang. Pemilik modal memiliki hak untuk mendapatkan laba sebab modal tersebut miliknya, sedengkan pekerja mendapatkan laba dari hasil pekerjaannya.
Menurut istilah, mudharabah atau qiradh dikemukakan oleh para ulama, sebagai berikut:
Menurut para fuqaha, mudharabah ialah akad antara dua pihak (orang) saling menanggung, salah satu pihak menyerahkan hartanya bagi pihak lain untuk diperdagangkan dengan bagian yang telah ditentukan dari keuntungan, seperti setengah atau sepertiga dengan syarat-syarat yang telah ditentukan.
Menurut Hanafiah, mudharabah adalah memandang tujuan dua pihak yang berakad yang berserikat dalam keuntungan (laba), karena harta diserahkan kepada yang lain yang lainnya punya jasa mengelola harta itu. Maka mudharabah ialah “ Akad syirka dalam laba, satu pihak pemilik harta dan pihak lain pemilik jasa.”
            Malikiyah berpendapat, bahwa mudharabah ialah “akad perwakilan, di mana pemilik harta mengeluarkan hartanya kepada yang lain untuk diperdagangkan dengan pembayaran yang ditentukan (mas dan perak).”
            Imam Hanabila berpendapat bahwa mudharabah ialah “ibarat pemilik harta menyerahkan hartanya dengan ukuran tertentu pada orang yang berdagang dengan bagian dari keuntungan yang diketahui.”
Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa mudharabah ialah “akad yang menentukan seseorang menyerahkan hartanya kepada yang lain untuk ditijarahkan.”
Syaikh Syihab al-Din al-Qalyubi dan Umairah berpendapat bahwa mudharabah ialah “seseorang menyerahkan harta kepada yang lain untuk ditijarahkan dan keuntungan bersama-sama.”
  Al-Bakri Ibn Al-Arif billah al-Sayyid Muhammad Syata berpendapat bahwa mudharabah ialah “seseorang yang memberikan masalahnya kepada yang lain dan didalamnya diterima penggantinya.”
Sayyid Sabiq berpendapat, bahwa mudharabah ialah akad antara dua bela pihak untuk salah satu pihak mengeluarkan sejumlah uang untuk diperdagangkan dengan syarat keuntungan dibagi dua sesuai dengan perjanjian.
            Menurut Imam Taqiyuddin, mudharabah ialah “akad keuangan untuk dikelola dikerjakan dengan perdagangan.”
 Hasbi Ash Shiddieqy mengatakan bahwa mudharabah adalah “semacam syariat, bermufakat dua orang padanya dengan ketentuan: modal dari satu pihak, sedangkan usaha menghasilkan keuntungan dibagi di antara mereka.”
Setelah kita mengetahui beberapa pendapat para ulama diatas mengenai mudharabah atau qiradh, kiranya kita dapat pahami bahwa mudharabah atau qiradh ialah akad antara pemilik modal (harta) dengan pengelola modal tersebut, dengan syarat bahwa keuntungan diperoleh dua belah pihak sesuai dengan keputusan.
Secara teknis, al-mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak di mana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si pengelola, si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
B.     Landasan Hukum
a.       Alqurán
فَاِذضا قُضِيَتِ الصَّلاَةُ فَانْتَشِرُوْا فِي الاَرْضِ وَابْتَغُواْ مِنْ فَضْلِ اللّهِ ....(الجمعة:10)
“Apabilatelah ditunaikan shalat bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Alaah SWT.”
b.      As-Sunah
Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Shuhaib bahwa Nabi SAW bersabda:
ثَلاَثٌ فِيهِنَّ البَرَكَةٌ:البَيْعُ اِلَي أَجَلٍ وَالمُقَارَضَةُ وَخَلْطُ البُرِّ بِالشَّعِيْرِ لِلْبَيْتِ لاَ لِلْبَيْعِ. (رواه ابن ما جه عن صهيب)
“Tiga perkara yang mengandung berkah adalahjual-beli yang ditangguhkan, melakukan qiradh (memberi modal kepada orang lain ), dan yang mencampurkan gandum dengan jelas untuk keluarga, bukan untuk diperjual belikan.”(H.R.Ibnu Majah dari Shuhaib)
c.       Ijma
Diantara ijma dalam mudhabarah adanya riwayat yang menyatakan bahwa jemaah dari sahabat menggunakan harta anak yatim untuk mudharabah. Perbuatan tersebut tidak ditentang oleh sahabat lainnya.
d.      Qiyas
Mudharabah diqiyaskan kepada Al-musyaqah (menyuruh seseorang untuk mengelola kebun). Selain diantara manusia ada yang miskin ada pula yang kaya. Di satu sisi banyak orang kaya yang tidak dapat mengusahakan hartanya. Disisi lain tidak sedikit orang miskin yang mau bekerja, tetapi tidak memiliki modal. Dengan demikian adanya mudhabarah ditujukan antara lain untuk memenuhi kebutuhan kedua golongan diatas, yaitu untuk kemaslahatan manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka.
C.     Rukun Mudharabah
Para ulama berbeda pendapat tentang rukun mudharabah. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa rukun mudharabah adalah ijab dan qabul, yakni lafazh yang menunjukan ijab dan qabul dengan menggunakan mudharabah, muqaridhah, muamalah, atau kata-kata yang searti dengannya.
Jumhur Ulama berpendapat bahwa rukun mudharabah ada tiga, yaitu dua orang yang melakukan akad (al-aqidani), modal (ma’qud alaih) dan sighat (ijab dan qabul). Ulama syafiiah lebih merinci lagi menjadi lima rukun, yaitu modal, pekerjaan, laba, shighat dan dua orang yang akad.
D.     Jenis-jenis Mudharabah
Mudharabah ada dua macam, yaitu mudharabah mutlak (almuthlaq) dan mudharabah terikat (almuqayyad). mudharabah mutlak adalah penyerahan modal seseoarang kepada pengusaha tanpa memberikan batasan, serperti berkata, “Saya serahkan uang ini kepadamu untuk diusahakan, sedangkan labanya akan dibagi diantara kita, masin-masing setengah atau sepertiga, dan lain-lain.”
Mudharabah terikat (almuqayyad) adalah penyerahan modal seseorang kepada pengusaha dengan memberikan batasan, seperti persyaratan bahwa pengusaha harus berdagang di daerah Bandung atau harus berdagang sepatu, atau membeli barang dari orang tertentu dan lain-lain.
Ulama Hanafiyah dan dan Imam Ahmad membolehkan memberi batasan dengan waktu dan orang, tetapi ulama Syafiiyah dan Malikiyah melarangnya. Ulama Hanafiyah dan Ahmadpun membolehkan akad apabila dikaitkan dengan masa yang akan datang, seperti, “Usahakan modal ini mulai bulan depan, sedangkan ulama Syafiiah dan Malikiyah melarangnya.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa jika mudharib lebih dari seorang, laba dibagikan berdasarkan hasil pekerjaan mereka. Dengan kata lain, keuntungan diantara sesama pengusaha tidak boleh disamakan, tetapi menurut kadar usaha dan hasil usahanya.
E.      Syarat Sah Mudharabah
Syarat sah mudharabah berkaitan dengan aqidani (dua orang yang akad), modal dan laba.
1.      Syarat Aqidani
Disyariatkan bagi orang yang akan melakukan akad, yakni pemilik modal dan pengusaha adalah ahli dalam mewakilkan atau menjadi wakil, sebab mudharib mengusahakan harta pemilik modal, yakni menjadi wakil. Namun demikian, tidak disyaratkan harus msulim. Mudharabah dibolehkan dengan orang kafir dzimmi atau orang kafir yang dilindungi di negara islam.
Adapun ulama Malikiyah memakruhkan mudharabah dengan kafir dzimmi jika mereka tidak melakukan riba dan melarangnya jika mereka melakukan riba.
2.      Syarat Modal
a.       Modal berupa uang, seperti dinar, dirham dan lainnya, yaitu segala sesuatu yang memungkinkan dalam perkongsian.
b.      Modal harus diketahui dengan jelas dan memiliki ukuran. 
c.       Modal harus ada bukan berupa hutang, tetapi tidak berarti harus ada di tempat akad. Juga boleh mengusahakan harta yang dititipkan kepada orang lain seperti mengatakan “Ambil harta saya di si fulan kemudian jadikan modal usahakan!”
d.      Modal harus diberikan kepada pengusaha. Hal itu dimaksudkan agar pengusaha dapat mengusahakannya, yakni menggunakan harta tersebut sebagai amanah.
3.      Syarat-syarat Laba.
a.       Laba Harus Memiliki Ukuran
Mudharabah dimaksudkan untuk mendapatkan laba. Dengan demikian, jika laba tidak jelas mudharabah batal. Namun demikian, pengusaha dibolehkan menyerahkan laba sebesar rp.5.000 misalnya untuk dibagi diantara keduanya tanpa menyebutkan ukuran laba yang akan diterimanya.
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa apabila pemilik modal mensyaratkan bahwa kerugian harus ditanggung oleh kedua orang yang akad, maka akad rusak tetapi mudharabah tetap sah. Hal ini karena dalam mudharabah kerugian harus ditanggung oleh pemilik modal. Sedangkan apabila pemilik modal mensyaratkan laba harus diberikan semuanya kepadanya, hal itu tidak dikatakan mudharabah, tapi pedagang.
Sebaliknya, jika pengusaha mensyaratkan laba harus diberikan kepadanya, menurut ulama hanafyah dan hanabilah hal itu termasuk qaradh tetapi menurut ulama syafiiyah ternasuk mudharabah yang rusak. Pengusaha diberi upah sesuai usahanya, sebab mudharabah mengharuskan adanya pembagian laba. Dengan demikian, jika laba disyaratkan harus dimiliki seseorang akad menjadi rusak.
Ulama malikiyah membolehkan pengusaha mensyaratkan semua laba untuknya. Begitu pula, semua laba boleh untuk pemilik modal sebab termasuk tabarru (derma).
b.      Laba Harus Berupa Bagian Yang Umum (Masyhur)
Pembagian laba harus sesuai dengan keadaan yang berlaku secara umum, seperti kesepakatan di antara orang yang melangsungkan akad bahwa setengah laba adalah untuk pemilik modal, sedangkan setengah lainnya lagi diberikan kepada pengusaha. Akan tetapi, tidak dibolehkan menetapkan jumlah tertentu bagi satu pihak dan sisanya bagi pihak lain seperti menetapkan laba 1.000 bagi pemilik modal dan menyerahkan sisanya bagi pengusaha.[3]
 C. Pertentangan Yang Biasa Terjadi Antara Pemilik Modal dan Pengusaha
Seharusnya dalam akad qiradh atau mudharabah tercipta hubungan harmonis antara kedua belah pihak. Namun, pertentangan antara mereka pun sering terjadi. Pada umumnya, konflik antara mereka pada permasalahan-permasalahan sebagai berikut:
1.      Perbedaan Dalam Mengusahakan (Tasyarruf) Harta
Di antara pemilik modal dan pengusaha terkadang ada perbedaan dalam hal keumuman bertasyarruf, kerusakan harta, pengembalian harta, ukuran laba yang disyaratkan serta ukuran modal.
Jika terjadi perbedaan antara pemilik modal dan pengusaha, yaitu satu pihak menyangkut sesuatu yang umum dan pihak lain menyangkut masalah khusus, yang diterima adalah pernyataan yang menyangkut hal-hal umum alam pedagangan. Yaitu, menyangkut pendapatan laba yang dapat diperoleh dengan menerapkan ketentuan-ketentuan umum.
2.      Perbedaan Dalam Harta Yang Rusak
Jika terjadi perbedaan pendapat antara pemilik modal dan pengusaha tentang rusaknya harta, seperti pengusaha menyatakan bahwa kerusakan disebabkan pemilik modal, tetapi pemilik modal mengingkarinya maka yang diterima berdasarkan kesepakatan para ulama, adalah ucapan pengusaha. Sebab, pada dasarnya ucapan pengusaha adalah amanah, yaitu tidak ada khianat. Karena prinsipnya, pemilik modal juga telah memberikan kepercayaan penuh kepada pengusaha untuk mentasharrufkan modal tersebut.
3.      Perbedaan Tentang Pengembalian Harta
Jika terjadi perbedaan pendapat antara pemilik modal dan pengusaha tentang pengembalian harta, seperti ucapan pengusaha bahwa modal telah dikembalikan, yang diterima menurut ulama Hanafiyah dan Hanabilah adalah pernyataan pemilik modal. Adapun menurut ulama Malikiyah dan Syafiiyah yang diterima adalah ucapan pengusaha sebab pengusaha dipecaya.
4.      Perbedaan Dalam Jumlah Modal
Ulama fiqih sepakat bahwa jika terjadi perbedaan pendapat tentang jumlahmodal, yang diterima adalah ucapan pengusaha sebab dialah yang memegangnya. Pengusaha mengetahui berapa jumlah modal yang diperlukan untuk menjalankan suatu usaha.
5.      Perbedaan Dalam Ukuran Laba
Ulama Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa ucapan yang diterima adalah pernyataan pemilik modal. Jika pengusaha mengakui bahwa disyaratkan baginya setengah laba, sedangkan menurut pemilik adalah sepertiganya.
            Ulama Malikiyah berpendapat bahwa yang diterima adalah ucapan pengusaha beserta sumpahnya dengan syarat sebagai berikut:
·         Harus sesuai dengan kebiasaan manusia yang berlaku dalam mudhabarah.
·         Harta masih dipegang oleh pengusaha. Menurut ulama syafiiyah, jika terjadi perbedaan pendapat dalam pembagiaan laba, harus diputuskan oleh hakim, kemudian pengusaha berhak mendapatkan upah atas perniagaannya.
D. Qiradh Jenis Deposito
            Qiradh dalam praktik perbankan dikenal dengan istilah deposito. Menurut Wahbah Juhaili terdapat tiga macam deposito, yaitu tipe A, B dan C. Tie A adalah deposito yang memiliki nilai yang terus bertambah. Pinjaman berada di tanga sebuah perusahan (bank) selama 10 tahun.
Tipe B adalah deposito yang memiliki pemasukan lancar, dimana bisa ditarik setiap kurun waktu satu atau setengah tahun, sedangkan pokok pinjaman tetap utuh.
Tipe A dan B ini termasuk kategori akad qirdh dan tambahannya, termasuk dalam kategori riba utang. Keduanya tergolong dalam riba investasi yang mengandung riba dan hukumnya adalah haram seperti simpanan yang ada di bank,baik dalam bentuk penitipan saja, seperti tabungan maupun bentuk investasi atau deposito.
            Tipe C adalah deposito yang tidak memberikan laba setiap tahunnya, tetapi ia memberikan sebagian keuntungan bagi nasabahnnya. Bentuk seperti ini dibolehkan menurut pendapat yang masyhur dalam mazhab Maliki. Hal ini didasarkan pada dua alasan, yaitu:
a.       Transaksi ini tidak ada pada masa turunnya syariat islam sehingga termasuk masalah yang maskut 'anhu (tidak dibicarakan) maka ia dibolehkan secara syara’. Hal ini karena merupakan transaksi yang mengutungkan baik bagi pihak pengelola maupun pemilik modal.
b.      Transaksi ini termasuk akad qiradh yang dibolehkan berdasarkan ijma’.
 E. Hikmah bermuamalah dengan Qiradh.
1.      Terwujudnya tolong menolong dan terhindarnya sistem rentenir. Sebab, sebagian masyarakat ada yang memiliki bakat bisnis tetapi tidak punya modal dan sebagian punya modal tetapi tidak punya keahlian berbisnis.
2.      Salah satu perilaku ibadah yang lebih mendekatkan diri pada rahmat Allah karena dapat melepaskan kesulitan orang lain yang sangat membutuhkan.
3.      Bagi orang yang memberikan pinjaman modal akan diberikan pahala dan kemudahan oleh Allah baik urusan dunia maupun urusan akhirat dan pahalanya delapan belas kali lipat dibandingkan sedekah sepuluh kali lipat.
4.      Terciptanya kerja sama antara pemberi modal dan pelaksana yang pada akhirnya dapat menumbuhkan dan mengembangkan perekonomian umat.
5.      Terbinanya pribadi-pribadi yang taaluf (rasa dekat) antara keduanya.

BAB III
PENUTUP
A.     Kesimpulan
·         Syirkah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (amal/ expertise) dengan kesepakatan, bahwa keuangan dan resiko ditanggung bersama.
·         Mudharabah atau qiradh termasuk salah satu bentuk akad syirkah (perkongsian, kerjasama). Istilah mudhabarah digunakan oleh orang Irak, sedangkan orang Hijaz menyebutnya dengan istilah qiradh. Dengan demikian, mudhabarah dan qiradh adalah dua istilah untuk maksud yang sama.

DAFTAR PUSTAKA

Dr. Hasbiyallah, M. Ag. Sudah Syaríkah Muamalahmu? (Yogyakarta: Salma Idea, 2014)
H.R. Daeng Naja, Akad Bank Syariah, (cet 1: Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2011
Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000)



[1]Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), h. 183

[2]H.R. Daeng Naja, Akad Bank Syariah, (cet 1: Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2011 hal 51)
[3]Ibid, hal 223-229

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PAI F 2016 UINSGD