Syirkah, Mudharabah dan Qiradh (Fikih Muamalah Jinayah)
MATERI FIQIH
MUAMALAH DAN JINAYAH
Dosen:
Dr. Hasbiyallah, M. Ag
Kelompok 3:
Teti Fitriyani :1162020216
Toni Fajar Riswanto :1162020221
Wulan Sari Maryam :1162020232
PAI III F
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
2017
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah Puji Syukur Kehadirat Allah SWT Karena Berkat
Limpahan Rahmat-Nya Kami Dapat Menyelesaikan Makalah Ini Dengan Baik. Shalawat Serta
Salam Selalu Tercurah Limpahkan Kepada Nabi Muhammad SAW Beserta Keluarga Dan
Para Shabatnya, Atas Jasa Beliau Kita Sebagai Ummat Islam Bisa Melihat Dunia
Ini Dipenuhi Akhlak Yang Mulia, Rahmat Dan Kasih Sayang Yang Selalu Tumbuh
Diantara Ummatnya.
Ucapan Terimakasih
Kami Berikan Kepada Bapak Dr. Hasbiyallah, M. Ag selaku dosen pengampuh mata
kuliah materi fiqih muamalah dan jinayah, Teman-Teman Seperjuangan Yang Turut
Memberi Motivasi Dan Saran Kepada Kami Dan Tak Lupa Kepada Semua Pihak Yang
Tidak Bisa Kami Sebutkan Satu Persatu.
Kami Menyusun Makalah Materi
Syirkah, Qiradh Dab Mudharabah Dalam Rangka Agar Para Pembaca Dapat
Menambah Wawasan Pengetahuan Tentang Fiqih Muamalah.
Didalam Penyusunan Makalah Ini Tidak Terlepas Dari Kekeliruan, Maka
Kami Menyadari Sepenuhnya Bahwa Masih Terdapat Kekurangan Baik Dari Segi
Penyusunan Bahasa Dan Aspek Lainnya. Oleh Karena Itu, Dengan Lapang Dada Kami
Membuka Kritik Dan Saran Demi Memperbaiki Makalah Ini. Kami Mengharapkan Semoga
Makalah Ini Dapat Memberi Manfaat Dan Menginspirasi Para Pembacanya.
Bandung,
12Oktober 2017
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar............................................................................................................
Daftar Isi ....................................................................................................................
1. BAB
I Pendahuluan ...................................................................................................
a. Latar
Belakang ...........................................................................................................
b. Rumusan
Masalah ......................................................................................................
c. Tujuan
.......................................................................................................................
2.
BAB II Pembahasan .................................................................................
1. Syirkah
A. Pengertian
Syirkah......................................................................................................
B. Hukum
Syirkah...........................................................................................................
C. Rukun
dan Syarat Syirkah..........................................................................................
D. Macam-Macam
Syirkah..............................................................................................
E. Hal
–Hal Yang Membatalkan Syirkah.........................................................................
2.
MUDHARABAH DAN QIRADH
A.
Pengertianmudharabah dan qiradh
............................................... .................................
B.
Landasan Hukum
.....................................................................................................
C.
Pertentangan Yang Biasa Terjadi
Antara Pemilik Modal dan
Pengusaha
................................................................................................................
D.
Qiradh Jenis Deposito
........................................................................................................
E.
Hikmah bermuamalah dengan
Qiradh................................................................................
3. BAB
III Penutup
A. Kesimpulan
...........................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Berlakang
Allah telah menurunkan kitab-kitab terdahulu untuk dijadikan
pedoman hidup pada masa itu,seperti kitab zabur untuk kaum Nabi Daud, kitab
Taurat untuk Nabi Mussa, kitab Injil untuk nabi isa.lquran adalah kalam allah
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.yang harus dijadikan pedoman tidak
hanya untuk umat islam tetapi untuk seluruh umat diakhir zaman
Kata muamalat berasal dari bahasa arab muamalat (المعاملة)
yang merupakan derifasi (bentukan) dari kata عا ملا
–يعامل- معاملة yang menurut bahasa
memiliki arti saling bertindak, berbuat, pekerjaan, pergaulan, sosial (sosail
intercous), bisnis (business ) dan transaksi (transaction.)
Secara terminologi (istilah) pengertian fiqih muamalah dibagi dalam
dua macam yaitu pengertian fiqih muamalah dalam arti luas dan pengertian fiqih
muamalah dalam arti sempit. Fiqih muamalah dalam arti luas adalah aturan hukum
islam yag berkaitan dengan tindakan hukum manusia dalam persoalan keduniaan,
seperti jual beli, gadai, perdagangan sewa dan lainnya. Fiqih muamalah dalam
arti luas mencakup segala aturan hukum islam yang berkaitan dengan hubungan
antar manusia (hablum minannas).
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa Pengertian syirkah?
2.
Apa Hukum Syirkah?
3.
Rukun dan Syarat Syirkah?
4.
Macam-Macam Syirkah?
5.
Bagaimana hikmah syirkah?
6.
Apa saja Hal –Hal Yang Membatalkan
Syirkah?
7.
Apa Pengertian Mudhabarah dan Qiradh?
8.
Landasan Hukum?
9.
Pertentangan Yang Biasa Terjadi
Antara Pemilik Modal dan Pengusaha?
10. Seperti
apa Qiradh Jenis Deposito?
11. Bagaimana
Hikmah bermuamalah dengan Qiradh?
C.
Tujuan
·
Untuk mengetahui bagaimana syirkah,
mudharabah dan qiradh.
·
Mampu menjelaskan penjelasan yang
leb
BAB II
PEMBAHASAN
1. SYIRKAH
A. Pengertian Syirkah
Secara etimologi, syirkah atau perkongsian berarti:
الاِخْتِلاَطُ اَيْ خَلْطُ اَحَدِ
الْمَالَيْنِ بِالاَخِرِ بِحَيْثُ لاَيَمءتَزَانِ عَنْ بَعْضِهَا
"percampuran, yakni bercampunya salah satu dari dua harta
dengan harta lainnya tanpa dapat dibedakan antara keduanya.[1]
Syirkah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk
suatu usaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana
(amal/ expertise) dengan kesepakatan, bahwa keuangan dan resiko ditanggung
bersama.
Sedangkan menurut istilah terdapat perbedaan pendapat dikalangan
ulama.
1.Menurut Hanafiah
عِبَارَةٌ عَنْ عَقْدِ بَيْنَ
المُتَشَارِ:َيْنِ فِى رَأْسِ المَالِ وَالرُبْحِ
“Syirkah adalah suatu ungkapan tentang akad (perjanjian) antara
dua orang yang berserikat didalam modal dan keuntungan”.
2.Menurut Malikiyah
هِيَ اِذَنْ فيِ التَّصَرُّفِ لَهُماَ مَعاً
اَنْفُسُهُماَ اَيْ ياَّنَ كُلَّ وَاحِدٍ مِنَ الشِّرِكَيْنِ لِصَاحِبِهِ فِي اَنْ
يَتَصَرَّفَ فِي مَالِ لَهُما مَعَ
اِبْقَاءِ حَقِّ التَّصَرُّفِ لِكُلِّ مِنْ هُماَ
“Perkongsian adalah izin untuk mendayagunakan (tasharruf) harta
yang dimiliki dua orang secara bersama-sama oleh keduanya, yakni keduanya
saling mengizinkan kepada salah satunya untuk mendayagunakan harta milik
keduanya, namun masing-masing memiliki hak untuk bertasharruf”.
3.Menurut Syafi’iyah
ثُبُوْتُ الحَقِّ فِ شَيْءٍ
لاِثْنَيْنِ فَاَكْثَرَ عَلَى جِهَةِ الشُيُوْعِ
“Ketetapan
Dari definisi yang dikemukakan oleh beberapa para ulama mengenai
pengertian dari syirkah bahwa yang dimaksud dengan syirkah adalah kerja sama antara
dua orang atau lebih dalam bidang usaha atau modal yang masing-masing dari
harta yang melakukan syirkah tersebut berbaur menjadi satu tanpa ada perbedaan
satu dengan yang lainnya yang keuntungan dan kerugiannya di tanggung bersama
sesuai kesepakatan yang telah di laksanakan.
Transaksi syirkah dilandasi adanya keinginan para pihak yangbekerja
sama untuk meningkatkan nilai aset yang mereka miliki secara bersama-sama.
Termasuk dalam golongan musyârakah adalah semua bentuk usaha yang melibatkan
dua pihak atau lebih di mana mereka secara bersama-sama memadukan seluruh
bentuk sumber daya, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud. Melalui
akad ini, kebutuhan nasabah untuk mendapatkan tambahan modal kerja
dapat terpenuhi setelah mendapatkan pembiyaan dari bank.
Selain digunakan untuk pembiyayan modal kerja, secara umum
pembiyayaan musyarakah digunakan untuk pembelian barang investasi dan
pembiyayaan proyek, bagi bank, pembiyayaan musyârakah dan memberi manfaat
berupa keuntungan dari hasil pembiyayaan usaha.[2]
B. Hukum Syirkah
Syirkah hukumnya
diperbolehkan atau disyari’atkan
berdasarkan Al-Qur’an, Al-Hadits dan ijma’ (konsensus) kaum muslimin.
Dan berikut ini kami sebutkan dalil-dalilnya, di antaranya:
1. Al-Qur’an
....وَاِنَّ كَثِيْرًا مِنَ الخُلَطاَءِ
لَيَبْغِي بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ اِلاَّ الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَعَمِلُوْا
الصَّالِحَاتِ وَقَلِيْلٌ مَاهُمْ....(ص:24)
Firman Allah Ta’ala: “Dan Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang
yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang
lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan
amat sedikitlah mereka ini.” (QS. Shaad: 24)
Dan firman-Nya pula:
فَهُمْ شُرَكَاءُ فِى الثُّلُثِ....(النساء:12)
“Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu.” (QS. An-Nisa’:
12)
Kedua ayat di atas menunjukkan perkenanan dan pengakuan Allah akan
adanya perserikatan dalam kepemilikan harta. Hanya saja dalam surat An-Nisa’
ayat 12 perkongsian terjadi secara otomatis karena waris, sedangkan dalam surat
Shaad ayat 24 terjadi atas dasar akad (transaksi).
2. Hadits
يَخُنْ أَحَدُهُمَا صَاحِبُهُ فَاِذَا خَانَهُ
خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهَا (رواه ابوداود والحاكم وصححه اسناده)
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah azza wa
jalla berfirman: “Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah
satunya tidak mengkhianati pihak lainnya. Kalau salah satunya berkhianat, Aku
keluar dari keduanya.” (HR. Abu Daud no.3383, dan Al-Hakim no.2322).
3. .Ijma’
Ijma’ ulama mengatakan, bahwa muslimin telah berkonsensus akan
legitimasi syarikah secara global, walaupun perbedaan pendapat dalam beberapa
elemen dari padanya. Maka secara tegas dapat dikatakan bahwa kegitan syirkah
dalam usaha diperbolehkan dalam islam, sebagai dasar hukumnya telah jelas dan
tegas.
Ibnu Qudamah dalam kitabnya, al-Mughni, telah berkata, “Kaum
muslimin telah berkonsensus terhadap legitimasi musyarakah secara global
walaupun terdapat perbedaan dalam beberapa elemen darinya.
C. Rukun dan Syarat Syirkah
Rukun syirkah adalah sesuatu yang harus ada ketika syirkah itu
berlangsung. Ada perbedaan terkait dengan rukun syirkah. Menurut ulama
Hanafiyah rukun syirkah hanya ada dua yaitu ijab (ungkapan melakukan penawaran
perserikatan) dan kabul (ungkapan penerimaan perserikatan), istilah ijab dan
kabul sering disebut dengan serah terima. Jika ada yang menambahkan selain ijab
dan kabul dalam rukun syirkah seperti adanya kedua orang yang berakad dan objek
akad menurut Hanafiyah itu bukan termasuk rukun tetapi termasuk syarat.
Syarat-syarat yang berhubungan dengan syirkah menurut Hanafiyah
dibagi menjadi empat bagian, sebagai berikut.
1.
Sesuatu yang bertalian dengan semua
bentuk syirkah, baik dengan harta maupun dengan yang lainnya. Dalam hal ini
terdapat dua syarat, yaitu; a) berkenaan dengan benda, maka benda yang
diakadkan harus dapat diterima sebagai perwakilan, dan b) berkenaan dengan
keuntungan, yaitu pembagian keuntungan harus jelas dan dapat diketahui dua
pihak.
2.
Semua yang bertalian dengan syirkah
mâl. Dalam hal ini terdapat dua perkara yang harus dipenuhi, yaitu; a) bahwa
modal yang dijadikan objek akad syirkah adalah dari alat pembayaran (nuqud),
seperti junaih, riyal dan rupiah, dan b) benda yang dijadikan modal ada ketika
akad syirkah dilakukan, baik jumlahnya sama maupun berbeda.
3.
Sesuatu yang bertalian dengan
syirkah mufawadhah, bahwa disyaratkan; a) modal (harta pokok) harus sama, b)
orang yang bersyirkah adalah ahli untuk kafalah, dan c) orang yang dijadikan
objek akad, disyaratkan melakukan syirkah umum, yakni pada semua macam jual
beli atau perdagangan.
4.
Adapun syarat yang bertalian dengan
syirkah ‘inan sama dengan syarat syirkah mufâwadhah.
Menurut Malikiyah, syarat-syarat yang bertalian dengan orang yang
melakukan akad ialah merdeka, baligh, dan pintar (rusyd). Imam Syafi’i berpendapat
bahwa syirkah yang sah hukumnya hanyalah syirkah ‘inan, sedangkan syirkah yang
lainnya batal. Akad syirkah ada kalanya hukumnya shahih ataupun fasid. Syirkah
fasid adalah akad syirkah di mana salah satu syarat yang telah disebutkan tidak
dipenuhi, jika semau syarat sudah terpenuhi maka syirkah dinyatakan shahih.
D. Macam-Macam Syirkah
1.Syirkah Amlâk (Hak Milik)
Yaitu perserikatan dua orang atau lebih yang dimiliki melalui
transaksi jual beli, hadiah, warisan atau yang lainnya. Dalam bentuk syirkah
seperti ini kedua belah pihak tidak berhak mengusik bagian rekan kongsinya, ia
tidak boleh menggunakannya tanpa seijin rekannya.
Menurut Sayyid Sabiq, yang dimaksud dengan syirkah amlâk adalah
bila lebih dari satu orang memiliki suatu jenis barang tanpa akad baik bersifat
ikhtiâri atau jabari.
Syirkah milk juga dibagi menjadi menjadi dua yaitu:
a.
Syirkah milk jabr, ialah
berkumpulnya dua orang atau lebih dalam pemilikan suatu benda secara paksa
b.
Syirkah milk al-ikhtiyar, ialah
ibarat kesepakatan dua orang atau lebih untuk menyerahkan harta mereka
masing-masing supaya memperoleh hasil dengan cara mengelola harta itu, bagi setiap
yang berserikat memperoleh bagian yang ditentukan dari keuntungan.
Syirkah milk tercipta karena warisan, wasiat atau kondisi lain yang
mengakibatkan pemilikan satu aset oleh dua orang atau lebih. Dalam musyarakah
ini, kepemilikan dua orang atau lebih terbagi dalam dua aset nyata dan berbagi
dari keuntungan yang dihasilkan aset tersebut.
Misalnya: Si A dan si B diberi wasiat atau hadiah berupa sebuah
mobil oleh seseorang dan keduanya menerimanya, atau membelinya dengan uang
keduanya, atau mendapatkannya dari hasil warisan, maka mereka berdua berserikat
dalam kepemilikan mobil tersebut.
2. Syirkah Uqûd (Transaksional/kontrak)
Yaitu akad kerja sama antara dua orang yang bersekutu dalam modal
dan keuntungan, artinya kerjasama ini didahului oleh transaksi dalam penanaman
modal dan kesepakatan pembagian keuntungan. Misalnya, dalam transaksi jual beli
atau lainnya. Bentuk syirkah seperti inilah yang hendak kami bahas dalam
tulisan kali ini.
Dalam syirkah seperti ini, pihak-pihak yang berkongsi berhak menggunakan
barang syirkah dengan kuasa masing-masing. Dalam hal ini, seseorang bertindak
sebagai pemilik barang, jika yang digunakan adalah miliknya. Dan sebagai wakil,
jika barang yang dipergunakan adalah milik rekannya.
Macam-Macam Syirkah Uqûd (Transaksional/kontrak)
Berdasarkan penelitian para ulama fikih terdahulu terhadap
dalil-dalil syar’i, bahwa di dalam Islam terdapat lima macam syarikah, yaitu:
a.
Syirkah
al-‘inân
Yaitu penggabungan harta atau modal dua orang atau lebih yang tidak
selalu sama jumlahnya. Boleh satu pihak memiliki modal lebih besar dari pihak
yang lain.Sementara itu, Ibn Qudamah sebagaimana dikutip oleh Muhammad
Abdurrahman Sadique menyebutkan bahwa syirkah al-‘inân adalah kerjasama dua
orang atau lebih dalam hal modal yang dilaksanakan oleh mereka yang berserikat
dalam hal modal tersebut sementara hasilnya dibagi bersama.
Keuntungan dibagi dua sesuai presentase yang telah disepakati
maupun kerugiannya. Sesuai dengan kaidah:
“keuntungan dibagi sesuai kesepakatan dan kerugian ditanggung sesuai
dengan modal masing-masing”.
Dan hukum syirkah ini diperbolehkan berdasarkan konsensus para
ulama, sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu al-Mundzir.
Contoh syirkah inân: A dan B pengrajin atau tukang kayu. A dan B
sepakat menjalankan bisnis dengan memproduksi dan menjualbelikan meubel.
Masing-masing memberikan konstribusi modal sebesar Rp.50 juta dan keduanya
sama-sama bekerja dalam syirkah tersebut. Dalam syirkah ini, disyaratkan
modalnya harus berupa uang (nuqûd); sedangkan barang (‘urûdh), misalnya rumah atau
mobil, tidak boleh dijadikan modal syirkah, kecuali jika barang itu dihitung
nilainya pada saat akad.
Keuntungan didasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugian
ditanggung oleh masing-masing mitra usaha (syarîk) berdasarkan porsi modal.
Jika, misalnya, masing-masing modalnya 50%, maka masing-masing menanggung
kerugian sebesar 50%. sebagaimana kaidah fikih yang berlaku, yakni (Ar-Ribhu
‘Alâ mâ Syarathâ wal Wadhii’atu ‘Alâ Qadril Mâlain).
Diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam kitab Al-Jâmi’, bahwa Ali bin Abi
Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Kerugian didasarkan atas besarnya
modal, sedangkan keuntungan didasarkan atas kesepakatan mereka (pihak-pihak
yang bersyirkah).”
b.
Syirkah
al-abdân
Yaitu perserikatan dalam bentuk kerja yang hasilnya dibagi bersama
sesuai dengan kesepakatan, tanpa konstribusi modal (mâl), seperti kerja sama
sesama dokter di klinik, tukang besi, kuli angkut atau sesama arsitek untuk
menggarap sebuah proyek, atau kerja sama dua orang penjahit untuk menerima
order pembuatan seragam sekolah dan sebagainya.Kerja sama semacam ini
dibolehkan menurut kalangan Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah, namun imam
Syafi’i melarangnya.
Contohnya: A dan B. keduanya adalah nelayan, bersepakat melaut
bersama untuk mencari ikan. Mereka sepakat pula, jika memperoleh ikan dan
dijual, hasilnya akan dibagi dengan ketentuan: A mendapatkan sebesar 60% dan B
sebesar 40%.
Syirkah ‘abdân hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah. Dari
Abdullah binMas’udradhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku pernah berserikat dengan
Ammar bin Yasir dan Sa’ad bin Abi Waqash mengenai harta rampasan perang pada
Perang Badar. Sa’ad membawa dua orang tawanan, sementara aku dan Ammar tidak
membawa apa pun.” (HR. Abu Dawud, An-Nasa’i dan Ibnu Majah)
c.
Syirkah
al-mudârabah
Yaitu, persetujuan seseorang sebagai pemilik modal (investor)
menyerahkan sejumlah modal kepada pihak pengelola (mudhârib) dalam suatu
perdagangan tertentu yang keuntungannya dibagi sesuai dengan kesepakatan
bersama. Adapun kerugiannya ditanggung oleh pemilik modal saja.
Menurut jumhur ulama (Hanafiyah, malikiyah, Syafi’iah, Zahiriyah,
dan Syiah Imamiyah) tidak memasukkan transaksi mudharabah sebagai salah satu
bentuk perserikatan, karena mudharabah menurut mereka merupaka akad tersendiri
dalam bentuk kerja sama yang lain yang tidak dinamakan dengan perserikatan.
Syarat-syarat mudârabah antara lain:
1.
Modal harus dinyatakan dengan jelas
mengenai jumlahnya.
2.
Modal harus diserahkan kepada
mudârib untuk memungkinkannya melakukan usaha
3.
Modal harus dalam bentuk tunai bukan
utang
4.
Pembagian keuntungan harus
dinyatakan dalam persentase dari keuntungan yang mungkin dihasilkan nanti
5.
Kesepakatan ratio persentase harus
dicapai melalui negosiasi dan dituangkan dalam kontrak
6.
Pembagian keuntungan baru dapat
dilakukan setelah mudârib mengembalikan seluruh atau sebagian modal kepada
shahib a-mâl
d.
Syirkah
al-wujûh
Yaitu kerja sama antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi
dan nama baik serta ahli dalam bisnis atau perserikatan tanpa modal. Mereka
membeli barang secara kredit (hutang) dari suatu perusahaan dan menjual barang
tersebut secara tunai, lalu keuntungan yang didapat dibagi bersama atas dasar
kesepakatan di antara mereka.
Syirkah semacam ini juga dibolehkan menurut kalangan hanafiyah dan
hanbaliyah, namun tidak sah menurut kalangan Malikiyah, Syafi’iyah dan
Zhahiriyah.
Disebut syirkah wujûh karena didasarkan pada reputasi (wajâhah)
kepercayaan (amânah), kedudukan, ketokohan, atau keahlian seseorang di tengah
masyarakat. Tak seorang pun memiliki modal, namun mereka memiliki nama baik,
sehingga mereka membeli barang secara hutang dengan jaminan nama baik tersebut.
Contohnya: A dan B adalah tokoh yang dipercaya pedagang. Lalu A dan
B ber-syirkah wujûh, dengan cara membeli barang dari seorang pedagang (misalnya
C) secara kredit. A dan B bersepakat, masing-masing memiliki 50% dari barang
yang dibeli. Lalu keduanya menjual barang tersebut dan keuntungannya dibagi
dua, sedangkan harga pokoknya dikembalikan kepada C (pedagang). Dalam syirkah
wujûh ini, keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan, bukan berdasarkan
prosentase barang dagangan yang dimiliki; sedangkan kerugian ditanggung oleh
masing-masing mitra usaha berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki,
bukan berdasarkan kesepakatan.
e.syirkah al-mufâwadhah.
Yaitu kerja sama antara dua orang atau lebih. Setiap pihak
memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja.
Setiap pihak membagi keuntungan dan kerugian secara sama.
Syirkah Mufâwadhah juga merupakan syirkah komprehensif yang dalam
syirkah itu semua anggota sepakat melakukan aliansi dalam semua jenis kerja
sama, seperti ‘înan, abdân dan wujûh. Di mana masing-masing menyerahkan
kepada pihak lain hak untuk mengoperasikan segala aktivitas yang menjadi
komitmen kerja sama tersebut, seperti jual beli, penjaminan, penggadaian, sewa
menyewa, menerima tenaga kerja, dan sejenisnya. Atau syirkah ini bisa pula
diartikan kerja sama dalam segala hal.
Namun tidak termasuk dalam syirkah ini
berbagai hasil sampingan yang didapatkannya, seperti barang temuan, warisan dan
sejenisnya. Dan juga masing-masing tidak menanggung berbagai bentuk denda,
seperti mengganti barang yang dirampas, ganti rugi syirkah , mengganti
barang-barang yang dirusak dan sejenisnya.
Dengan demikian, syarat utama dari Syirkah ini adalah kesamaan
dalam hal-hal berikut: Dana (modal) yang diberikan, kerja, tanggung jawab,
beban utang dibagi oleh masing-masing pihak, dan agama
Hukum Syirkah ini dalam pengertian di atas dibolehkan menurut
mayoritas ulama seperti Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah. Sebab, setiap jenis
syirkah yang sah ketika berdiri sendiri, maka sah pula ketika digabungkan
dengan jenis syirkah lainnya. Namun, imam asy-Syafi’i melarangnya karena sulit
untuk menetapkan prinsip persamaan modal, kerja dan keuntungan dalam perserikatan
ini.
Adapun keuntungan yang diperoleh dalam syirkah ini dibagi sesuai
dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan jenis
syirkah-nya; yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai porsi modal (jika berupa
syirkah‘inân), atau ditanggung pemodal saja (jika berupa syirkah mudhârabah),
atau ditanggung mitra-mitra usaha berdasarkan persentase barang dagangan yang
dimiliki (jika berupa syirkah wujûh).
Contohnya: A adalah pemodal, berkonstribusi modal kepada B dan C,
dua insinyur teknik sipil, yang sebelumnya sepakat, bahwa masing-masing
berkonstribusi kerja. Kemudian B dan C juga sepakat untuk berkonstribusi modal,
untuk membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada B dan
C
Dalam hal ini, pada awalnya yang ada adalah syirkah ‘abdân, yaitu
ketika B dan C sepakat masing-masing ber-syirkah dengan memberikan konstribusi
kerja saja. Lalu, ketika A memberikan modal kepada B dan C, berarti di antara
mereka bertiga terwujud syirkah mudhârabah. Di sini A sebagai pemodal, sedangkan
B dan C sebagai pengelola. Ketika B dan C sepakat bahwa masing-masing
memberikan konstribusi modal, di samping konstribusi kerja, berarti terwujud
syirkah‘inân di antara B dan C. Ketika B dan C membeli barang secara kredit
atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, berarti terwujud syirkah wujûh
antara B dan C. Dengan demikian, bentuk syirkah seperti ini telah menggabungkan
semua jenis syirkah yang ada, yang disebut syirkah mufâwadhah.
E. Hal –Hal Yang Membatalkan Syirkah
1. Sebab-sebab yang membatalkan syirkah secara umum
a.
Pembatalan oleh salah seorang
anggota serikat. Hal tersebut dikarenakan akad syirkah merupakan akad yang
jâiz dan ghair lâzim, sehingga memungkinkan untuk di-fasakh.
b.
Meninggalnya salah seorang anggota
serikat.
c.
Murtadnya salah seorang anggota
serikat dan berpindah domisilinya ke darul harb. Hal ini disamakan dengan
kematian.
d.
Gilanya peserta yang terus-menerus,
karena gila menghilangkan status wakil dari wakâlah, sedangkan syirkah
mengandung unsur wakâlah.
2.Sebab yang membatalkan syirkah secara khusus
a.
Rusaknya harta syirkah seluruhnya
atau harta salah seorang anggota serikat sebelum digunakan untuk membeli dalam
syirkah amwâl
b.
Tidak terwujudnya persamaan modal
dalam syirkah mufâwadhah ketika akad akan dimulai.
Hal tersebut karena adanya persamaan antara modal pada permulaan
akad merupakan syarat yang penting untuk keabsahan akad.
2.
MUDHARABAH DAN QIRADH
A. Pengertian
Mudhabarah dan Qiradh
Mudharabah atau
qiradh termasuk salah satu bentuk akad syirkah (perkongsian, kerjasama).
Istilah mudhabarah digunakan oleh orang Irak, sedangkan orang Hijaz menyebutnya
dengan istilah qiradh. Dengan demikian, mudhabarah dan qiradh adalah dua
istilah untuk maksud yang sama.
Menurut bahasa qiradh القِرَاضُ berasal dari kata القَرءضُ
yang berarti القَطْعُ (potongan), sebab
pemilik memberikan potongan dari hartanya untuk diberikan kepada pengusaha agar
mengusahakan harta tersebut dan pengusaha akan memberikan potongan dari laba
yang diperoleh. Bisa juga diambil dari kata muqaradhah المُقَارَضَة yang berarti المُسَاوَرَةُ
(kesamaan), sebab pemilik modal dan pengusaha memiliki hak yang sama terhadap
laba.
Orang Irak menyebutnya dengan istilah mudharabah المُضَارَبَةُ, sebabكُلٌّ مِنَ
العاَقِدَينِ يضِرِبُ بِسَهْمِ الرّبْحِ setiap
yang melakukan akad memiliki bagian dari laba atau pengusaha harus mengadakan
perjalanandalam mengusahakan harta modal tersebut. Perjalan tersebut dinamakan ضَرْبًافِي السَّفَرِ
Mudharabah menurut istilah salah satu ulama fiqih berpendapat:
“Pemilik harta (modal) menyerahkan modal kepada pengusaha untuk
berdagang dengan modal tersebut dan laba dibagi diantara keduanya berdasarkan
persyaratan yang disepakati.”
Apabila rugi, hal itu ditanggung oleh pemilik modal. Dengan kata
lain, pekerja tidak bertanggung jawab atas kerugiannya. Kerugian pengusaha
hanyalah dari kesungguhan dan pekerjaannya yan tidak akan mendapat imbalan jika
rugi.
Maka dapat diketahui bahwa modal boleh berupa barang yang tidak
dapat dibayarkan, seperti rumah. Begitu pula tidak boleh berupa hutang. Pemilik
modal memiliki hak untuk mendapatkan laba sebab modal tersebut miliknya,
sedengkan pekerja mendapatkan laba dari hasil pekerjaannya.
Menurut istilah, mudharabah
atau qiradh dikemukakan oleh para
ulama, sebagai berikut:
Menurut para
fuqaha, mudharabah ialah akad antara dua pihak (orang) saling menanggung, salah
satu pihak menyerahkan hartanya bagi pihak lain untuk diperdagangkan dengan
bagian yang telah ditentukan dari keuntungan, seperti setengah atau sepertiga
dengan syarat-syarat yang telah ditentukan.
Menurut
Hanafiah, mudharabah adalah memandang tujuan dua pihak yang berakad yang
berserikat dalam keuntungan (laba), karena harta diserahkan kepada yang lain
yang lainnya punya jasa mengelola harta itu. Maka mudharabah ialah “ Akad
syirka dalam laba, satu pihak pemilik harta dan pihak lain pemilik jasa.”
Malikiyah
berpendapat, bahwa mudharabah ialah “akad perwakilan, di mana pemilik harta
mengeluarkan hartanya kepada yang lain untuk diperdagangkan dengan pembayaran
yang ditentukan (mas dan perak).”
Imam Hanabila
berpendapat bahwa mudharabah ialah “ibarat pemilik harta menyerahkan hartanya
dengan ukuran tertentu pada orang yang berdagang dengan bagian dari keuntungan
yang diketahui.”
Ulama
Syafi’iyah berpendapat bahwa mudharabah ialah “akad yang menentukan seseorang
menyerahkan hartanya kepada yang lain untuk ditijarahkan.”
Syaikh Syihab al-Din al-Qalyubi dan Umairah berpendapat bahwa
mudharabah ialah “seseorang menyerahkan harta kepada yang lain untuk
ditijarahkan dan keuntungan bersama-sama.”
Al-Bakri Ibn Al-Arif billah al-Sayyid Muhammad Syata
berpendapat bahwa mudharabah ialah “seseorang yang memberikan masalahnya kepada
yang lain dan didalamnya diterima penggantinya.”
Sayyid Sabiq berpendapat, bahwa mudharabah ialah akad antara dua
bela pihak untuk salah satu pihak mengeluarkan sejumlah uang untuk
diperdagangkan dengan syarat keuntungan dibagi dua sesuai dengan perjanjian.
Menurut
Imam Taqiyuddin, mudharabah ialah “akad keuangan untuk dikelola dikerjakan
dengan perdagangan.”
Hasbi Ash Shiddieqy mengatakan bahwa
mudharabah adalah “semacam syariat, bermufakat dua orang padanya dengan
ketentuan: modal dari satu pihak, sedangkan usaha menghasilkan keuntungan
dibagi di antara mereka.”
Setelah kita mengetahui beberapa pendapat para ulama diatas
mengenai mudharabah atau qiradh, kiranya kita dapat pahami bahwa mudharabah
atau qiradh ialah akad antara pemilik modal (harta) dengan pengelola modal
tersebut, dengan syarat bahwa keuntungan diperoleh dua belah pihak sesuai
dengan keputusan.
Secara teknis, al-mudharabah
adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak di mana pihak pertama (shahibul
maal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi
pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang
dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal
selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian
itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si pengelola, si pengelola
harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
B. Landasan
Hukum
a.
Alqurán
فَاِذضا
قُضِيَتِ الصَّلاَةُ فَانْتَشِرُوْا فِي الاَرْضِ وَابْتَغُواْ مِنْ فَضْلِ اللّهِ
....(الجمعة:10)
“Apabilatelah ditunaikan shalat
bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Alaah SWT.”
b.
As-Sunah
Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Shuhaib bahwa Nabi SAW bersabda:
ثَلاَثٌ
فِيهِنَّ البَرَكَةٌ:البَيْعُ اِلَي أَجَلٍ وَالمُقَارَضَةُ وَخَلْطُ البُرِّ
بِالشَّعِيْرِ لِلْبَيْتِ لاَ لِلْبَيْعِ. (رواه ابن ما جه عن صهيب)
“Tiga perkara yang mengandung berkah adalahjual-beli yang ditangguhkan,
melakukan qiradh (memberi modal kepada orang lain ), dan yang mencampurkan
gandum dengan jelas untuk keluarga, bukan untuk diperjual belikan.”(H.R.Ibnu
Majah dari Shuhaib)
c.
Ijma
Diantara ijma dalam mudhabarah adanya riwayat yang menyatakan bahwa
jemaah dari sahabat menggunakan harta anak yatim untuk mudharabah. Perbuatan
tersebut tidak ditentang oleh sahabat lainnya.
d.
Qiyas
Mudharabah diqiyaskan kepada Al-musyaqah (menyuruh seseorang untuk
mengelola kebun). Selain diantara manusia ada yang miskin ada pula yang kaya.
Di satu sisi banyak orang kaya yang tidak dapat mengusahakan hartanya. Disisi
lain tidak sedikit orang miskin yang mau bekerja, tetapi tidak memiliki modal.
Dengan demikian adanya mudhabarah ditujukan antara lain untuk memenuhi kebutuhan
kedua golongan diatas, yaitu untuk kemaslahatan manusia dalam rangka memenuhi
kebutuhan mereka.
C.
Rukun Mudharabah
Para ulama berbeda pendapat tentang rukun mudharabah. Ulama
Hanafiyah berpendapat bahwa rukun mudharabah adalah ijab dan qabul, yakni lafazh
yang menunjukan ijab dan qabul dengan menggunakan mudharabah, muqaridhah,
muamalah, atau kata-kata yang searti dengannya.
Jumhur Ulama berpendapat bahwa rukun mudharabah ada tiga, yaitu dua
orang yang melakukan akad (al-aqidani), modal (ma’qud alaih) dan sighat (ijab
dan qabul). Ulama syafiiah lebih merinci lagi menjadi lima rukun, yaitu modal,
pekerjaan, laba, shighat dan dua orang yang akad.
D.
Jenis-jenis Mudharabah
Mudharabah ada dua macam, yaitu mudharabah mutlak (almuthlaq) dan
mudharabah terikat (almuqayyad). mudharabah mutlak adalah penyerahan modal
seseoarang kepada pengusaha tanpa memberikan batasan, serperti berkata, “Saya
serahkan uang ini kepadamu untuk diusahakan, sedangkan labanya akan dibagi
diantara kita, masin-masing setengah atau sepertiga, dan lain-lain.”
Mudharabah terikat (almuqayyad) adalah penyerahan modal seseorang
kepada pengusaha dengan memberikan batasan, seperti persyaratan bahwa pengusaha
harus berdagang di daerah Bandung atau harus berdagang sepatu, atau membeli
barang dari orang tertentu dan lain-lain.
Ulama Hanafiyah dan dan Imam Ahmad membolehkan memberi batasan
dengan waktu dan orang, tetapi ulama Syafiiyah dan Malikiyah melarangnya. Ulama
Hanafiyah dan Ahmadpun membolehkan akad apabila dikaitkan dengan masa yang akan
datang, seperti, “Usahakan modal ini mulai bulan depan, sedangkan ulama
Syafiiah dan Malikiyah melarangnya.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa jika mudharib lebih dari seorang,
laba dibagikan berdasarkan hasil pekerjaan mereka. Dengan kata lain, keuntungan
diantara sesama pengusaha tidak boleh disamakan, tetapi menurut kadar usaha dan
hasil usahanya.
E.
Syarat Sah Mudharabah
Syarat sah mudharabah berkaitan dengan aqidani (dua orang yang
akad), modal dan laba.
1.
Syarat Aqidani
Disyariatkan bagi orang yang akan melakukan akad, yakni pemilik
modal dan pengusaha adalah ahli dalam mewakilkan atau menjadi wakil, sebab
mudharib mengusahakan harta pemilik modal, yakni menjadi wakil. Namun demikian,
tidak disyaratkan harus msulim. Mudharabah dibolehkan dengan orang kafir dzimmi
atau orang kafir yang dilindungi di negara islam.
Adapun ulama Malikiyah memakruhkan mudharabah dengan kafir dzimmi
jika mereka tidak melakukan riba dan melarangnya jika mereka melakukan riba.
2.
Syarat Modal
a.
Modal berupa uang, seperti dinar,
dirham dan lainnya, yaitu segala sesuatu yang memungkinkan dalam perkongsian.
b.
Modal harus diketahui dengan jelas
dan memiliki ukuran.
c.
Modal harus ada bukan berupa hutang,
tetapi tidak berarti harus ada di tempat akad. Juga boleh mengusahakan harta
yang dititipkan kepada orang lain seperti mengatakan “Ambil harta saya di si
fulan kemudian jadikan modal usahakan!”
d.
Modal harus diberikan kepada
pengusaha. Hal itu dimaksudkan agar pengusaha dapat mengusahakannya, yakni
menggunakan harta tersebut sebagai amanah.
3.
Syarat-syarat Laba.
a.
Laba Harus Memiliki Ukuran
Mudharabah dimaksudkan untuk mendapatkan laba. Dengan demikian,
jika laba tidak jelas mudharabah batal. Namun demikian, pengusaha dibolehkan
menyerahkan laba sebesar rp.5.000 misalnya untuk dibagi diantara keduanya tanpa
menyebutkan ukuran laba yang akan diterimanya.
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa apabila pemilik modal
mensyaratkan bahwa kerugian harus ditanggung oleh kedua orang yang akad, maka
akad rusak tetapi mudharabah tetap sah. Hal ini karena dalam mudharabah
kerugian harus ditanggung oleh pemilik modal. Sedangkan apabila pemilik modal
mensyaratkan laba harus diberikan semuanya kepadanya, hal itu tidak dikatakan
mudharabah, tapi pedagang.
Sebaliknya, jika pengusaha mensyaratkan laba harus diberikan kepadanya,
menurut ulama hanafyah dan hanabilah hal itu termasuk qaradh tetapi menurut
ulama syafiiyah ternasuk mudharabah yang rusak. Pengusaha diberi upah sesuai
usahanya, sebab mudharabah mengharuskan adanya pembagian laba. Dengan demikian,
jika laba disyaratkan harus dimiliki seseorang akad menjadi rusak.
Ulama malikiyah membolehkan pengusaha mensyaratkan semua laba
untuknya. Begitu pula, semua laba boleh untuk pemilik modal sebab termasuk
tabarru (derma).
b.
Laba Harus Berupa Bagian Yang Umum
(Masyhur)
Pembagian laba harus sesuai dengan keadaan yang berlaku secara
umum, seperti kesepakatan di antara orang yang melangsungkan akad bahwa
setengah laba adalah untuk pemilik modal, sedangkan setengah lainnya lagi
diberikan kepada pengusaha. Akan tetapi, tidak dibolehkan menetapkan jumlah
tertentu bagi satu pihak dan sisanya bagi pihak lain seperti menetapkan laba
1.000 bagi pemilik modal dan menyerahkan sisanya bagi pengusaha.[3]
C. Pertentangan Yang Biasa
Terjadi Antara Pemilik Modal dan Pengusaha
Seharusnya dalam akad qiradh atau mudharabah tercipta hubungan
harmonis antara kedua belah pihak. Namun, pertentangan antara mereka pun sering
terjadi. Pada umumnya, konflik antara mereka pada permasalahan-permasalahan
sebagai berikut:
1.
Perbedaan Dalam Mengusahakan (Tasyarruf)
Harta
Di antara pemilik modal dan pengusaha terkadang ada perbedaan dalam
hal keumuman bertasyarruf, kerusakan harta, pengembalian harta, ukuran laba
yang disyaratkan serta ukuran modal.
Jika terjadi perbedaan antara pemilik modal dan pengusaha, yaitu satu
pihak menyangkut sesuatu yang umum dan pihak lain menyangkut masalah khusus,
yang diterima adalah pernyataan yang menyangkut hal-hal umum alam pedagangan.
Yaitu, menyangkut pendapatan laba yang dapat diperoleh dengan menerapkan
ketentuan-ketentuan umum.
2.
Perbedaan Dalam Harta Yang Rusak
Jika terjadi perbedaan pendapat antara pemilik modal dan pengusaha
tentang rusaknya harta, seperti pengusaha menyatakan bahwa kerusakan disebabkan
pemilik modal, tetapi pemilik modal mengingkarinya maka yang diterima berdasarkan
kesepakatan para ulama, adalah ucapan pengusaha. Sebab, pada dasarnya ucapan
pengusaha adalah amanah, yaitu tidak ada khianat. Karena prinsipnya, pemilik
modal juga telah memberikan kepercayaan penuh kepada pengusaha untuk
mentasharrufkan modal tersebut.
3.
Perbedaan Tentang Pengembalian Harta
Jika terjadi perbedaan pendapat antara pemilik modal dan pengusaha
tentang pengembalian harta, seperti ucapan pengusaha bahwa modal telah
dikembalikan, yang diterima menurut ulama Hanafiyah dan Hanabilah adalah
pernyataan pemilik modal. Adapun menurut ulama Malikiyah dan Syafiiyah yang
diterima adalah ucapan pengusaha sebab pengusaha dipecaya.
4.
Perbedaan Dalam Jumlah Modal
Ulama fiqih sepakat bahwa jika terjadi perbedaan pendapat tentang
jumlahmodal, yang diterima adalah ucapan pengusaha sebab dialah yang
memegangnya. Pengusaha mengetahui berapa jumlah modal yang diperlukan untuk
menjalankan suatu usaha.
5.
Perbedaan Dalam Ukuran Laba
Ulama Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa ucapan yang
diterima adalah pernyataan pemilik modal. Jika pengusaha mengakui bahwa
disyaratkan baginya setengah laba, sedangkan menurut pemilik adalah
sepertiganya.
Ulama Malikiyah
berpendapat bahwa yang diterima adalah ucapan pengusaha beserta sumpahnya
dengan syarat sebagai berikut:
·
Harus sesuai dengan kebiasaan
manusia yang berlaku dalam mudhabarah.
·
Harta masih dipegang oleh pengusaha.
Menurut ulama syafiiyah, jika terjadi perbedaan pendapat dalam pembagiaan laba,
harus diputuskan oleh hakim, kemudian pengusaha berhak mendapatkan upah atas perniagaannya.
D. Qiradh Jenis Deposito
Qiradh dalam
praktik perbankan dikenal dengan istilah deposito. Menurut Wahbah Juhaili
terdapat tiga macam deposito, yaitu tipe A, B dan C. Tie A adalah deposito yang
memiliki nilai yang terus bertambah. Pinjaman berada di tanga sebuah perusahan
(bank) selama 10 tahun.
Tipe B adalah deposito yang memiliki pemasukan lancar, dimana bisa
ditarik setiap kurun waktu satu atau setengah tahun, sedangkan pokok pinjaman
tetap utuh.
Tipe A dan B ini termasuk kategori akad qirdh dan tambahannya,
termasuk dalam kategori riba utang. Keduanya tergolong dalam riba investasi
yang mengandung riba dan hukumnya adalah haram seperti simpanan yang ada di
bank,baik dalam bentuk penitipan saja, seperti tabungan maupun bentuk investasi
atau deposito.
Tipe C adalah deposito
yang tidak memberikan laba setiap tahunnya, tetapi ia memberikan sebagian
keuntungan bagi nasabahnnya. Bentuk seperti ini dibolehkan menurut pendapat
yang masyhur dalam mazhab Maliki. Hal ini didasarkan pada dua alasan, yaitu:
a.
Transaksi ini tidak ada pada masa turunnya
syariat islam sehingga termasuk masalah yang maskut 'anhu (tidak dibicarakan)
maka ia dibolehkan secara syara’. Hal ini karena merupakan transaksi yang
mengutungkan baik bagi pihak pengelola maupun pemilik modal.
b.
Transaksi ini termasuk akad qiradh
yang dibolehkan berdasarkan ijma’.
E. Hikmah bermuamalah dengan Qiradh.
1.
Terwujudnya tolong menolong dan
terhindarnya sistem rentenir. Sebab, sebagian masyarakat ada yang memiliki
bakat bisnis tetapi tidak punya modal dan sebagian punya modal tetapi tidak
punya keahlian berbisnis.
2.
Salah satu perilaku ibadah yang
lebih mendekatkan diri pada rahmat Allah karena dapat melepaskan kesulitan
orang lain yang sangat membutuhkan.
3.
Bagi orang yang memberikan pinjaman
modal akan diberikan pahala dan kemudahan oleh Allah baik urusan dunia maupun
urusan akhirat dan pahalanya delapan belas kali lipat dibandingkan sedekah
sepuluh kali lipat.
4.
Terciptanya kerja sama antara
pemberi modal dan pelaksana yang pada akhirnya dapat menumbuhkan dan
mengembangkan perekonomian umat.
5.
Terbinanya pribadi-pribadi yang
taaluf (rasa dekat) antara keduanya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
·
Syirkah adalah akad kerja sama
antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, dimana masing-masing
pihak memberikan kontribusi dana (amal/ expertise) dengan kesepakatan, bahwa
keuangan dan resiko ditanggung bersama.
·
Mudharabah atau qiradh
termasuk salah satu bentuk akad syirkah (perkongsian, kerjasama). Istilah
mudhabarah digunakan oleh orang Irak, sedangkan orang Hijaz menyebutnya dengan
istilah qiradh. Dengan demikian, mudhabarah dan qiradh adalah dua istilah untuk
maksud yang sama.
DAFTAR PUSTAKA
Dr.
Hasbiyallah, M. Ag. Sudah Syaríkah Muamalahmu? (Yogyakarta: Salma Idea, 2014)
H.R.
Daeng Naja, Akad Bank Syariah, (cet 1: Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2011
Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah (Bandung: CV
Pustaka Setia, 2000)
Komentar
Posting Komentar