Ariyah Hiwalah dan Ijarah (Fikih Muamalah Jinayah)
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Islam
agama yang lengkap dan sempurna telah meletakkan kaedah-kaedah dasar dan aturan
dalam semua sisi kehidupan manusia baik dalam ibadah dan juga muamalah
(hubungan antar makhluk). Setiap orang pasti butuh berinteraksi dengan lainnya
untuk saling menutupi kebutuhan dan saling tolong-menolong diantara mereka.
Fiqh
Muamalah sebagai hasil dari pengolahan potensi insani dalam meraih sebanyak
mungkin nilai-nilai Ilahiyat, yang berkenaan dengan tata aturan hubungan
antarmanusia (makhlukat), yang secara keseluruhan merupakan suatu
disiplin ilmu yang tidak mudah untuk dipahami.
Hidup
dimuka bumi ini pasti selalu melakukan yang namanya kegiatan ekonomi dalam
kehidupan sehari-hari. Tidak dapat dipungkiri realita yang ada, suburnya usaha-usaha
pengadaian baik dikelola pemerintah atau swasta menjadi bukti terjadinya
gadai-menggadai ini. Ironisnya banyak kaum muslimin yang belum mengenal aturan
indah dan adil Islam mengenai hal ini. Padahal karena perkara ini bukanlah
perkara baru dalam kehidupan mereka, sudah sejak lama mereka mengenal jenis
transaksi seperti ini. Sebagai akibatnya terjadi kezoliman dan saling memakan
harta saudaranya dengan batil. Bertransaksi sana-sini untuk menjalankan
kehidupan dan tanpa kita sadari pula kita melakukan yang namanya ‘Ariyah,
Hiwalah, dan Ijarah. Karenanya, dalam makalah ini dibahas suatu kajian yang
mendalam agar dapat memahami tata aturan Islam tentang hubungan manusia yang
sesungguhnya
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa
yang dimaksud dengan Ariyah?
2.
Bagaimana
sistematika yang ada dalam Ariyah?
3.
Apa
yang dimaksud dengan Hiwalah?
4.
Bagaimana
sistematika yang ada dalam Hiwalah?
5.
Apa
yang dimaksud dengan Ijarah?
6.
Bagaimana
sistematika yang ada dalam Ijarah?
C.
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui apa yang dimaksud dengan Ariyah.
2.
Untuk
mengetahui sistematika dalam Ariyah.
3.
Untuk
mengetahui apa yang dimaksud dengan Hiwalah.
4.
Untuk
mengetahui sistematika dalam Hiwalah.
5.
Untuk
mengetahui apa yang dimaksud dengan Ijarah.
6.
Untuk
mengetahui sistematika dalam Ijarah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
‘Ariyah
1.
Pengertian dan Dasar Hukum ‘Ariyah
‘Ariyah atau pinjam-meminjam berasal dari ‘ara-ya’ri-‘irayah, yang
memiliki arti datang dan pergi. Berdasarkan pada makna bahasa tersebut, sifat
‘ariyah adalah sesaat (datang dan pergi). Yaitu, bahwa barang yang dipinjam
harus digunakan seperlunya dan segera dikembalikan jika telah digunakan.
Para ahli fiqih mendefinisikan ‘ariyah
adalah pembolehan untuk memanfaatkan barang tanpa pengganti.
Berdasarkan pada definisi tersebut,
‘ariyah dapat didefinisikan sebagai meminjam suatu barang untuk dapat
dimanfaatkan tanpa pengganti. Jika diberikan pengganti dengan sejumlah uang
maka disebut ijarah (sewa-menyewa).[1]
Secara Terminologi syara’, ulama fiqh
berbeda pendapat dalam mendefinisikan ‘ariyah, antara lain:
a.
Ibnu
Rif’ah berpendapat, bahwa yang dimaksud ‘ariyah adalah kebolehan
mengambil manfaat suatu barang dengan halal serta tetap zatnya, supaya dapat
dikembalikan kepada pemiliknya .
b.
Menurut
pendapat al-Malikiyah sebagaimana yang ditulis oleh Wahbah al-Juhaili, ‘ariyah
adalah pemilikan atas manfaat suatu barang tanpa adanya imbalan. Adapun
menurut al-Syafi’iyah dan al-Hanabilah ‘ariyah adalah pembolehan untuk
mengambil manfaat suatu barang tanpa adanya imbalan.
c.
Amir
Syarifuddin berpendapat, bahwa ‘ariyah adalah transaksi atas manfaat
suatu barang tanpa imbalan, dalam arti sederhana ‘ariyah adalah
menyerahkan suatu wujud barang untuk dimanfaatkan orang lain tanpa adanya
imbalan.[2]
Q. S. Al Maidah (5): 2
وَتَعَاوَنُواْ
عَلَى ٱلۡبِرِّ وَٱلتَّقۡوَىٰۖ وَلَا تَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡإِثۡمِ
وَٱلۡعُدۡوَٰنِۚ ٢
2. Dan tolong-menolonglah
kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran.
Q. S. An Nisa (4): 58
إِنَّ ٱللَّهَ
يَأۡمُرُكُمۡ أَن تُؤَدُّواْ ٱلۡأَمَٰنَٰتِ إِلَىٰٓ أَهۡلِهَا ...٥٨
58. Sesungguhnya Allah
menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya...
Rasulullah bersabda
الْعَارِيَةُ مُؤَذَاةٌ (رواه ابو داود)
“Barang
pinjaman ialah barang yang wajib dikembalikan” (HR. Abu Dawud)
مَنْ أَخَذَ اَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيْدُ
اَدَاءَهَا اَدَّى اللّهُ عَنْهُ وَ مَنْ أَخَذَ يُرِيْدُ اِتْلَافَهَا اَتْلَفَهُ
اللّهُ (رواه الخاري)
“Siapa
yang meminjam harta seseorang dengan kemauan membayarnya, maka Allah akan
membayarnya, dan barang siapa yang meminjam dengan kemauan melenyapkannya maka
Allah akan melenyaphkan hartanya.” (HR. Al Bukhari)
Dalam
hadis hadis Bukhari dan Muslim dari Anas, dinyatakan bahwa Rasulullah Saw.
telah meminjamkan kuda dari Abu Thalhah, kemudian beliau mengendarainya.
Dalam
Hadis lain yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad yang jayyid dari
Shafwan Ibn Umayyah, dinyatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah meminjam perisai
dari Shafwan bin Umayyah pada waktu Perang Hunaian. Shafwan bertanya, “apakah
engkau ingin memilikinya ya Muhammad?” Nabi menjawab, “Cuma meminjam dan
Aku bertanggung jawab”.[3]
2.
Rukun dan Syarat ‘Ariyah
Ariyah
sebagai sebuah akad atau transaksi, sudah tentu perlu adanya
unsur-unsur yang mesti ada, yang menjadikan perbuatan itu dapat terwujud
sebagai suatu perbuatan hukum. Dalam hal ini sudah pasti ada beberapa rukun
yang harus dipenuhi.
Adapun
rukun ‘Ariyah menurut jumhur ulama ada empat, yaitu:
a. Orang yang meminjamkan atau Mu’ir.
b. Orang yang meminjam atau Musta’ir.
c. Barang yang dipinjam atau Mu’ar.
d. Lafal atau sighat pinjaman atau sighat ‘ariyah.
Adapun
syarat-syarat ‘ariyah sebagai berikut:
a.
Orang
yang meminjam itu ialah orang yang telah berakal dan cakap bertindak hukum,
karena orang yang tidak berakal tidak dapat dipercayai memegang amanah.
b.
Barang
yang dipinjam bukan jenis barang yang apabila dimanfaatkan akan habis atau
musnah seperti makanan.
c.
Barang
yang dipinjamkan itu harus secara langsung dapat dikuasai oleh peminjam.
d.
Manfaat
barang yang dipinjam itu termasuk manfaat yang mubah atau dibolehkan syara’.
Misalnya apabila meminjam kendaraan orang lain hendaknya kendaraan itu
digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat dalam pandangan syara’.[4]
Menurut
Sayid Sabiq, sahnya ‘ariyah ditunjukan dengan perkataan dan perbuatan
antara peminjam (musta’ir) dan pihak dipinjamkan (mu’ir). Adapun syarat-syarat
yang harus dipenuhi meliputi bahwa mu’ir ikhlas untuk memberikan pinjaman,
barang yang dipinjamkan dapat memberikan manfaat dan tidak mengurangi (tetap
utuh), dan kebermanfaatan tersebut bersifat mubah bukan untuk sesuatu yang
haram seperti meminjam pisau untuk melukai orang atau membunuh.
Sayid
Sabiq mensyaratkan ‘ariyah pada tiga hal, sebagai berikut.
a.
Orang
yang meminjamkan (mu’ir) adalah pemilik yang berhak untuk menyerahkannya.
b.
Bahwa
barang yang dipinjamkan dapat dimanfaatkan.
c.
Bahwa
pemanfaatan itu dibolehkan.
Ketentuan
lain yang perlu diperhatikan dalam akad ‘ariyah adalah bahwa apabila barang
yang dipinjam sudah selesai digunakan, harus segera dikembalikan kepada mu’ir
(pemberi pinjaman). Sebagaimana firman Allah Swt.
إِنَّ ٱللَّهَ
يَأۡمُرُكُمۡ أَن تُؤَدُّواْ ٱلۡأَمَٰنَٰتِ إِلَىٰٓ أَهۡلِهَا ...٥٨
58. Sesungguhnya Allah
menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya...
Sabda
Rasulullah Saw.:
عَنْ اَبِي هُرَيْرَةَ, قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللّهِ صَلَّى اللّهُ
عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ : (( أَدِّ الْاَمَانَةَ اِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ, وَ لَا
تَخُنْ مَنْ خَانَكَ))
“Penuhilah
amanah kepada orang yang telah memberi amanah kepada Anda, dan jangan
berkhianat terhadap orang yang telah mengkhianati Anda.” (HR. Abu Daud)
Karena
jika tidak segera dikembalikan dan terbukti hilang, peminjam harus bertanggung
jawab penuh. Akan tetapi, jika barang pinjaman tersebut digunakan dengan cara wajar dan ternyata rusak, itu
menjadi tanggung jawab pemilik barang. Hal ini didasarkan pada hadis Rasulullh
Saw.:
عَنْ سَمُرَةَ, عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ
قَالَ : (( عَلَى الْيَدِ مَا اَخَذَتْ حَتَّى تُؤَدِّي))
“Pemegang
berkewajiban menjaga apa yang ia telah terima, sampai dengan ia
mengembalikannya.” (HR. Abu Daud, Al-Nasa’i dan Ibnu Majah)
Dalam
hadis yang lain:
لَيْسَ عَلَى الْمُسْتَعِيْرِ غَيْرِ الْمُغِلِّ ضَمَانٌ, وَلَا عَلَى
المُسْتَوْدِعِ غَيْرِ الْمُغِلِّ ضَمَانٌ
“Peminjam
yang tidak khianat tidak berkewajiban mengganti kerugian, dan juga orang yang
dititipi yang tidak khianat tidak berkewajiban mengganti kerugian.” (Hadits
dikeluarkan oleh Al-Daruqutni)
Berdasarkan
Hadits tersebut, peminjam tidak diwajibkan mengganti barang yang dipinjam
kecuali kerusakan tersebut karena kecerobohan peminjam, seperti meminjam
gunting untuk kertas digunakan untuk menggunting baja dan lain sebagainya.[5]
3.
Tanggung Jawab Peminjam
Setiap orang yang meminjam sesuatu pada orang lain berarti peminjam
memiliki utang kepada yang berpiutang. Setiap utang wajib dibayar sehingga berdosalah
orang yang tidak mau mebayar utang, bahkan melalaikan pembayaran utang juga
termasuk perbuatan aniaya.
Selanjutnya
Sejauh manakah tanggung jawab peminjam dalam masalah ‘ariyah ini. Para
ulama fiqh bersepakat bahwa akad ‘ariyah bersifat tolong menolong, akan tetapi
mengenai masalah apakah akad ‘ariyah itu bersifat amanah di tangan peminjam,
sehingga ia tidak boleh dituntut ganti rugi apabila barang itu rusak. Dalam hal ini mereka berbeda
pendapat.
Menurut
ulama Hanafiyah ‘ariyah di tangan peminjam bersifat amanah. Oleh karena itu
peminjam tidak dikenakan ganti rugi terhadap kerusakan barang yang bukan
disebabkan oleh perbuatannya atau kelalaiannya dalam memanfaatkan barang
tersebut. Akan tetapi, apabila kerusakan itu disengaja maka ia dikenakan ganti
rugi.
Ulama
Hanabilah berpendapat bahwa ‘ariyah adalah akad yang mempunyai resiko ganti
rugi, baik disebabkan oleh peminjam atau disebabkan hal-hal lain. Oleh sebab
itu, apabila barang tersebut rusak atau hilang, baik disebabkan pemanfaatan
barang itu oleh peminjam maupun oleh sebab-sebab lainnya di luar jangauan
peminjam, maka menurut Hanabilah pihak peminjam wajib membayar ganti rugi
semenjak barang itu rusak atau hilang.
Menurut
ulama Syafi’iyah, apabila kerusakan barang itu disebabkan oleh pemanfaatan yang
tidak disetujui pemilik barang, maka peminjam dikenakan ganti rugi, baik
pemanfaatannya oleh peminjam maupun oleh orang lain.
Ulama
Malikiyah menyatakan bahwa apabila barang yang dipinjamkan itu dapat
disembunyikan seperti pakaian, cincin , kalung, dan jam tangan, lalu peminjam
mengatakan bahwa barang itu hilang atau hancur, sedangkan ia tidak dapat
membuktikannya, maka ia dikenakan ganti rugi. Selanjutnya, apabila barang yang
dipinjam itu termasuk jenis yang tidak dapat disembunyikan seperti rumah, tanah
dan kendaraan, kemudian barang itu rusak ketika dimanfaatkan maka tidak
dikenakan ganti rugi atas kerusakan itu.[6]
B.
Hiwalah
1.
Pengertian dan Dasar Hukum Hiwalah
Hiwalah
menurut etimologi berarti pengalihan atau pemindahan (al-intiqal). Sedangkan
menurut termologi, ibnu abdin, ulama madzhab Hanafi, mendepenisikan hiwalah
ialah pemindahan kewajiban menbayar hutang dari yang berhutang (Al-muhil)
kepada orang yang berhutang lainnya (Al-muhal alaih).
Menurut jumhur ulama, hiwalah adalah akad yang mengendaki perpindahan pengalihan hutang
dari tanggung jawab seseorang kepada tanggung jawab orang lain.
Kebiasaan
akad hiwalah di dasarkan kepada Al-quran surat yusup ayat 55. Berkata Yusup
‘’jadikanlah aku bendaharawan Negara(mesir), sesungguhnya aku orang yang
pandai menjaga lagi berpengetauan.’’ Dan Hadits Nabi saw yang di
riwayatkan imam Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah bawa rasulullah bersabda: menunda
pembayaran bagi orang yang mampu adalah suatu kezholiman. Dan jika salah
seorang dari kamu diikutkan (di hiwalahkan ) kepada orang yang mampu/kaya ,
terimalah hawalah itu.’’
Secara
singkatnya Hiwalah ialah memidahkan utang dari tanggungan seseorang kepada
tanggungan yang lain.[7]
2.
Pembagian Hiwalah
a.
Hiwalah
Muqayyadah (pengalihan Bersyarat), yaitu pengalihan sebagai ganti dari pembayaran
untang muhil (pihak perama) kepada muhal (pihak ke dua). Sebagai contoh: A
memberi piutang kepada B sebesar 10 juta, sedangkan B memberi piutang kepada C
sebesar 10 juta. Kemudian, B Mengalihkan
haknya untuk memuntut piutangnya yang berada pada C kepada A. sebagai
ganti pembayaran utang B kepada A. Dengan demikian, hiwalah muqayyadah pada
satu sisi merupakan hiwalah al-haq karena mengalihkan hak menuntut piutangnya
dari C ke A (Pengalihan hak). Pada sisi lain, hiwalah muqayyadah sekaligus
merupakan hiwalah dain karena kewajiban B kepada A di alihkan menjadi kewajiban
C kepada A (pengalihan hutang).
Hiwalah
muthlaqah (pengalihan Mutlak), yaitu pengalihan hutang yang tidak di tegaskan
sebagai ganti rugi dari pembayaran utang muhil (pihak pertama) kepada muhal
(pihak kedua). Sebagai contoh : A berutang kepada B sebesar 5 juta. Kemudian, A
mengalihkan utangnya kepada C sehingga C berkewajiban membayar utang A kepada
B, tanpa menyebutkan bahwa pemindahan utang tersebut sebagai ganti rugi dari
pembayar utang C kepada A. Dengan demikian hiwalah muthlaqah hanya mengandung
hiwalah dain kerena yang terjadi hanya: utang A kepada B dipindahkan menjadi
utang C kepada B.[8]
3.
Rukun dan Syarat Hiwalah
Menurut Hanafiyah rukun hiwalah hanya satu, yaitu ijab dan Kabul
yang di lakukan antara yang mengiwalakan dengan yang menerima hiwalah.
Syarat-syarat hiwalah menurut Hanafiyah ialah:
a.
Orang
yang memindahkan hutang (muhilf) adalah orang yang berakal, makna batal
hiwalah yang dilakukan muhil dalam keadaan gila atau masih kecil.
b.
Orang
yang menerima hiwalah (rah al-dayn) adalah orang yang berakal, maka batallah
hiwalah yang di lakukan oleh yang tidak berakal.
c.
Orang
yang dihiwalahkan (mahal’alah) juga harus orang yang berakal dan diisyaratkan
pula dia meridhainya.
d.
Adanya
utang muhil kepada muhal alaih.
Menurut syafiyah rukun hiwalah itu ada empat, sebagai
berikut:
a.
Muhil, yaitu orang yang menghiwalakan atau orang memindahkan utang.
b.
Muhtal,
yaitu orang yang dihiwalahkan, yaitu orang yang mempunyai utang
kepada muhil.
c.
Muhal’alaih,
yaitu orang yang menerima hiwalah.
d.
Shighat
hiwalah, yaitu ijab dari muhil dengan
kata-katanya ‘’aku hiwalahkan utangku yang hak bagi engkau kepada anu’’ dan
Kabul dari muhtal dengan kata-katanya.’’ Aku terima hiwalah engkau.’’
Sementara itu, syarat-syarat hiwalah menurut sayyid sabiq
adalah sebagai berikut:
a.
Relanya
pihak mihil dan muhal tanpa muhal’alaih, jadi yang harus rela itu muhil dan
muhal’alaih. Bagi muhal’alaih rela ataupun tidak rela, tidak akan mempengaruhi
kesalahan hiwalah. Ada juga yang mengatakan bahwa muhal tidak disyaratkan rela,
yang harus rela adalah muhil, hal ini karena Rasul telah bersabda. ‘’Dan jika
salah seorang di antara kamu dihiwalahkan kepada orang yang kaya, maka
terimalah.’’
b.
Samanya
kedua hak, baik jenis maupun kadarnya, penyelesainnya, tempo waktu, kualitas,
dan kuantitasnya.
c.
Stabilnya
muhal’alaih maka penghiwalahan kepada seorang yang tidak mampu membayar utang
adalah batal.
d.
Hak
tersebut diketaui secara jelas. [9]
4.
Jenis-Jenis Hiwalah
Dari sekian mazhab yang ada, imam
Hanafi turut andil memberikan kontribusi pendapat tersendiri dalam menangapi
persoalan seputar aktifitas hiwalah, menurutnya, hiwalah dapat di klafikasikan
atas beberapa bagian dan dalam sudut pandang yang berbeda. Pertama Ditijau dari
segi objek akad, maka hiwalah dapat di bagi menjadi dua, apabila yang
dipindahkan itu merupakan hak menuntut hutang, maka pemindahan ini disebut
hiwalah al-haq (pemindahan hak). Sedangkan jika yang dipindahkan itu kewajiban
untuk membayar hutang, maka pemindahan itu disebut hiwalah ad-dain (permindahan
hutang).
Hiwalah al-haqq merupakan sebuah
kontrak pengalihan hak dari pemilik piutang kepada pemilik piutang lainya.
Hiwalah ad-dain adalah kebalikannya, hiwalah ad-dain merupakan pemindahan hutang
dari seorang pengutang kepada penghutang lainnya. Yakni antara pihak pertama
dengan pihak pertama (pengutang pertama) memiliki piutang pada pihak ketiga
(pengutang kedua).
5.
Berakhirnya Akad
Akad hiwalah dapat berakhir karena
beberapa sebab berikut ini:
a.
Salah
satu pihak yang sedang melakukan akad ini memfasakh (membatalkan) akad hiwalah
sebelum akad ini berlaku secara tetap, dengan adanya pembatalan akad itu, pihak
kedua berhak menunutu pembayaran utang kepada pihak pertama. Demikianlah pula
hak pihak pertama kepada pihak ketiga.
b.
Pihak
ketiga melunasi utang yang dialihkan itu kepda pihak kedua.
c.
Pihak
kedua wafat, sedangkan pihak ketiga merupakan ahli waris yang mewarisi harta
pihak kedua.
d.
Pihak
kedua membebaskan pihak ketiga dari kewajibannya untuk membayar utang yang
dialihkan itu.[10]
6.
Beban Muhil Setelah Hiwalah
Apabila hiwalah berjalan sah, dengan
sendirinya tanggung jawab muhil gugur. Andaikata muhal’alaih mengalami
kebangkrutkan atau membantah hiwalah atau meniggal dunia, maka muhal tidak
boleh kembali lagi kepada muhil,hal ini adalah pendapat ulama jumhur.
Menurut Mazhab Maliki, bila muhil telah menipu muhal ternyata
muhal’alaih orang pakir yang tidak memiliki sesuatu apapun untuk membayar, maka
muhal boleh kembali lagi kepada mahil.
Menurut Imam Maliki, orang yang
mengiwalakan utang kepada orang lain, kemudian muhal’alaih mengalami
kebangkrutan atau meninggal dunia dan ia belum membayar kewajiban, maka mahal
tidak boleh lagi kembali kepada muhil.
Abu Hanafiyah, syarih, dan utsman berpendapat bahwa dalam keadaan
muhal’alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia maka orang yang
mengutankan (muhal) kembali lagi kepada muhil untuk menagihnya.[11]
C.
Ijarah
1.
Pengertian Ijarah
Idris Ahmad dalam bukunya yang
berjudul Fuqh Syafi’i halaman 139, berpendapat bahwa ijarah berarti
upah-mengupah. Hal ini terlihat ketika beliau menerangkan rukun dan syarat
upah-mengupah, yaitu mu’jir dan musta’jir (yang memberikan upah
dan yang menerima upah), sedangkan Kamaludin A. Marzuki sebagai Fiqh Sunah karya
Sayyid Sabiq halaman 1 menjelaskan makna ijarah dengan sewa-menyewa.[12]
Dari kedua buku tersebut ada
perbedaan terjemahan kata ijarah dari bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia.
Antara sewa dan upah juga ada perbedaan makna operasional, sewa biasanya
digunakan untuk benda, seperti ‘’Seorang mahasiswa menyewa kamar untuk tempat
tinggal selama kuliah’’, sedangkan upah digunakan untuk tenaga seperti, ‘’Para
karyawan bekerja di pabrik dibayar gajinya (upahnya) satu kali dalam seminggu).
Dalam bahasa Arab upah dan sewa disebut ijarah.[13]
Al-Ijarah berasal dari kata al-ajru yang arti menurut bahasanya ialah al-iwadh
yang arti dalam bahasa Indonesia nya ialah ganti dan upah.[14]
Sedangkan menurut istilah, para
ulama berbeda-beda mendefinisikan ijarah, antara lain adalah sebagai
berikut.
a. Menurut Hanafiyah
‘’Akad untuk membolehkan pemilikan
manfaat yang diketahui dan disengaja dari suatu zat yang disewa dengan
imbalan.’’
b. Menurut Malikiyah
‘’ Nama bagi akad-akad untuk
kemanfaatan yang bersifat manusiawi dan untuk sebagian yang dapat
dipindahkan.’’[15]
c. Menurut Asy-Syafi’iyah
‘’ Akad atas suatu kemanfaatan yang
mengandung maksud tertentu dan mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan
dengan pengganti tertentu.’’
d. Ulama Hanabilah
‘’Menjadikan milik suatu kemanfaatan
yang mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti’’. [16]
e.
Menurut
Syaikh Syihab Al-Din dan Syaikh Umairah
‘’Akad atas manfaat yang diketahui
dan disengaja untuk memberi dan membolehkan dengan imbalan yang diketahui
ketiku itu.
f.
Menurut
Muhammad Al-Syarbini al-Khatib
‘’Pemilikan manfaat dengan adanya
imbalan dan syarat-syarat.’’
g.
Menurut
Hasbi Ash-Shiddieq
‘’Akad yang objeknya ialah penukaran
manfaat untuk masa tertentu, yaitu pemilikan manfaat dengan imbalan, sama
dengan menjual manfaat.’’
h.
Menurut
Idris Ahmad bahwa upah artinya mengambil manfaat tenaga orang lain dengan jalan
memberi ganti menurut syarat-syarat tertentu.[17]
Berdasarkan definisi-definisi diatas, kiranya dapat dipahami bahwa ijarah
adalah menukar sesuatu dengan ada imbalannya, duterjemahkan dalam bahasa
Indonesia berarti sewa-menyewa dan upah-mengupah, sewa-menyewa adalah :
بيع المنافع
‘’Menjual
manfaat’’
بيع القؤة
‘’Menjual
tenaga atau kekuatan’’[18]
Ijarah sebagai jual-beli jasa (upah-mengupah),
yakni mengambil manfaat tenaga manusia, ada pula yang menerjemahkan
sewa-menyewa, yakni mengambil manfaat barang. Keduanya benar, dalam pembahasan
ini ijarah menjadi dua bagian, yaitu ijarah atas jasa dan ijarah atas
benda.
Jumhur ulama
fiqh berpendapat dalam bukunya Rachmat Syafe’i. 2001, bahwa ijarah adalah
menjual manfaat dan yang boleh disewakan adalah manfaatnya bukan bendanya. Oleh
karena itu, mereka melarang menyewakan pohon untuk diambil buahnya, domba untuk
diambil susunya, sumur untuk diambil airnya, dan lain-lain, sebab semua itu
bukan manfaatnya, tetapi bendanya.[19]
Menanggapi
pendapat diatas, Wahbah Al-Juhaili mengutip pendapat Ibnu Qayyim dalam I’lam
Al-Muwwaqi’in bahwa manfaat sebagai asal ijarah sebagaimana ditetapkan
ulama fiqih adalah asal fasid (rusak) sebab tidak ada landasannya, baik dari
Al-Qur’an, As-Sunah, ijma’ maupun qiyas yang sahih. Menurutnya, benda yang
mengeluarkan suatu manfaat sedikit demi sedikit, asalnya tetap ada, misalnya
pohon yang mengeluarkan buah, pohonnya tetap ada dan dapat dihukumi manfaat,
sebagaimana dibolehkan dalam wakaf untuk mengambil manfaat dari sesuatu atau
sama juga dengan barang pinjaman yang diambil manfaatnya. Dengan demikian, sama
saja antara arti manfaat secara umum dengan benda yang mengeluarkan suaatu
manfaat sedikit demi sedikit, tetapi asalnya tetap ada.[20]
Dr. H.
Hasbiyallah, M.Ag mengatakan dalam bukunya Sudah Syar’ikah Muamalahmu,
bahwa Ijarah atau sewa-menyewa pada sesuatu yang dapat diberikan
manfaatnya, seperti menyewakan air susu ibu, menyewakan tenaga, menyewakan
ilmu, dan barang-barang lain yang dapat memberi manfaat. Oleh karena itu, tidak
sah menyewakan pohon untuk mengambil buahnya, tidak boleh menyewakan uang, dan
tidak boleh pula menyewakan makanan karena semua itu tidak layak untuk
disewakan. Sebab, yang ada buah dari pohon layak dibeli, makanan layak juga
dibeli, dan uang layak dipinjamkan bukan untuk disewa.[21]
2.
Dasar Hukum Ijarah
Hampir semua
ulama ahli fiqh sepakat bahwa ijarah disyariatkan dalam Islam. Adapun golongan
yangtidak menyepakatinya, seperti Abu Bakar Al-Asham, Ismail Ibn Aliah, Hasan
Al-Bashri, Al-Qasyani, Nahrawi, dan Ibn Kaisan beralasan bahwa ijarah adalah
jual-beli kemanfaatan, yang tidak dipegang (tidak ada). Sesuatu yang tidak ada
tidak dapat dikategorikan jual-beli.
Dalam
menjawab pandangan ulama yang tidak menyepakati ijarah tersebut, Ibn Rusyd
berpendapat bahwa kemanfaatan walaupun tidak terbentuk, dapat dijadikan alat
pembayaran menurut kebiasaan (adat).
a. Al-Qur’an
Q.S Thalaq : 6
أَسۡكِنُوهُنَّ مِنۡ حَيۡثُ سَكَنتُم مِّن
وُجۡدِكُمۡ وَلَا تُضَآرُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُواْ عَلَيۡهِنَّۚ وَإِن كُنَّ
أُوْلَٰتِ حَمۡلٖ فَأَنفِقُواْ عَلَيۡهِنَّ حَتَّىٰ يَضَعۡنَ حَمۡلَهُنَّۚ فَإِنۡ
أَرۡضَعۡنَ لَكُمۡ فََٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأۡتَمِرُواْ بَيۡنَكُم
بِمَعۡرُوفٖۖ وَإِن تَعَاسَرۡتُمۡ فَسَتُرۡضِعُ لَهُۥٓ أُخۡرَىٰ ٦
6. Tempatkanlah mereka (para isteri) di
mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan
mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang
sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga
mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka
berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala
sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh
menyusukan (anak itu) untuknya.
Q.S Al Qashash : 26
قَالَتۡ إِحۡدَىٰهُمَا يَٰٓأَبَتِ ٱسۡتَٔۡجِرۡهُۖ
إِنَّ خَيۡرَ مَنِ ٱسۡتَٔۡجَرۡتَ ٱلۡقَوِيُّ ٱلۡأَمِينُ ٢٦
26. Salah seorang dari kedua wanita itu
berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita),
karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada
kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya".
b. As-Sunah
·
‘’Berikanlah olehmu upah pekerja sebelum keringatnya
kering.’’ (H.R Ibnu Majah).
·
‘’Barangsiapa yang meminta untu menjadi buruh,
beritahukanlah upahnya.’’ (H.R Abd Razaq dari Abu Hurairah).[22]
·
‘’ Berbekamlah kamu, kemudian berikanlah olehmu
upahnya kepada tukang bekam itu.’’ (Riwayat Bukhari dan Muslim).
·
‘’Dahulu kami menyewa tanah dengan jalan membayar dari
tanaman yang tumbuh. Lalu Rasulullah melarang kami cara itu dan memerintahkan
kami agar membayarnya dengan uang mas atau perak.’’ (Riwayat Ahmad dan Abu
Dawud).[23]
c. Ijma’
Semua umat bersepakat, tidak ada seorang
ulama pun yang membantah kesepakatan (ijma’) ini, sekalipun ada beberapaorang
diantara mereka yang berbeda pendapat, tetapi jal itu tidak dianggap.dan umat
Islam pada masa sahabat telah berijma’ bahwa ijarah dibolehkan sebab bermanfaat
bagi manusia.[24]
3.
Rukun Ijarah
Menurut
ulama Hanafiyah, rukun ijarah adalah ijab dan qabul, antara lain dengan
menggunakan kalimat : al-ijarah, al-isti’jar, al-iktira, dan al-ikra.
Adapun
menurut Jumhur Ulama,rukun ijarah ada 4, yaitu:
a. ‘Aqid (orang yang akad)
b. Shighat akad.
c. Ujrah (upah)
d. Manfaat
4. Syarat
Ijarah
a. Syarat
Terjadinya Akad
Syarat in
‘inqad (terjadinya akad) berkaitan dengan aqid, zat akad, dan tempat akad.
Sebagaimana
telah dijelaskan dalam jual-beli,menurut ulama Hanafiyah, ‘aqid (orang yang
melakukan akad) disyaratkan harus berakal dan mumayyiz (minimal 7 tahun), serta
tidak disyaratkan harus baligh. Akan tetapi, jika bukan barang miliknya
sendiri, akad ijarah anak mumayyiz,
dipandang sah bila telah diizinkan walinya.
Ulama
Malikiyah berpendapat bahwa tamyiz adalah syarat ijarah dan jual-beli,
sedangkan baligh adalah syarat penyerahan. Dengan demikian, akad anak mumayyiz
adalah sah, tetapi bergantrung atas keridhaan walinya.
Ulama
Hanabilah dan Syafi’iyah mensyaratkan orang yang akad harus mukallaf, yaitu
baligh dan berakal, sedangkan anak mumayyiz belum dapat dikategorikan ahli
akad.
b. Syarat
Pelaksanaan (An-Nafadz)
Agar ijarah terlaksana, barang harus dimiliki oleh ‘aqid atau ia
memiliki kekuasaan penuh akad (ahliah). Dengan demikian ijarah al-fudhul
(ijarah yang dilakukan oleh orang yang memiliki kekuasaan atau tidak diizinkan
oleh pemiliknya) tidak dapat menjadikan adanya ijarah.[25]
c.
Syarat Sah Ijarah
·
Adanya keridahaan dari kedua pihak yang akad
QS An-Nisa : 29
Ijarah dikategorikan jual-beli sebab
mengandung unsur pertukaran beli. Syarat ini berkaitan pertukaran harta.
·
Ma’qud ‘Alaih bermanfaat dengan jelas
Adanya kejelasan pada ma’qud alaih (barang)
menghilangkan pertentangan di antara ‘aqid.
Diantara cara untuk mengetahui ma’qud
‘alaih (barang) adalah dengan menjelaskan manfaatnya, pembatasan waktu, atau
menjelaskan jenis pekerjaan jika ijarah atas pekerjaan atau jasa seseorang.
Ø Penjelasan Manfaat
Penjelasan dilakukan agar benda yang disewa
benar-benar jelas. Tidak sah mengatakan, ‘’Saya sewakan salah satu dari rumah
itu.’’
Ø Penjelasan Waktu
Jumhur ulama tidak memberikan batasan
maksimal atau minimal. Jadi, dibolehkan selamanya dengan syarat asalnya masih
tetapada sebabtidakada dalil yang mengharuskan untuk membatasinya.
Ulama Hanafiyah tidak mensyaratkan untuk
penetapan awal waktu akad, sedangkan ulama Syafi’iyah mensyaratkanya sebab bila
tak dibatasi hal itu dapat menyebabkan ketidaktahuan waktu yang wajib dipenuhi.
Ø Sewa Bulanan
Menurut ulama Syafi’iyah, seseorang tidak
boleh menyatakan,’’Saya menyewakan rumah ini setiap bulan Rp 50.000,00’’sebab
pernyataan seperti ini membutuhkan akad baru setiap kali membayar. Akad yang betul adalahdengan menyatakan,
‘’Saya sewa selama sebulan.’’
Sedangkan menurut jumhur ulama akad tersebut
dipandang sah akad pada bulan pertama, sedangkan pada bulan sisanya bergantung
pada pemakaiannya. Selain itu,yang paling penting adalah adanya keridaan dan
kesesuaian dengan uang sewa.
Ø Penjelasan Jenis Pekerjaan
Penjelasan tentang jenis pekerjaan sangat penting dan diperlukan ketika
menyewa orang untuk berkerja sehingga tidak terjadi kesalahan atau
pertentangan.
Ø Penjelasan Waktu Kerja
Tentang batasan waktu kerja sangat bergantung pada pekerjaan dan
kesepakatan dalam akad.[26]
·
Ma’qud ‘Alaih (barang) harus dapat memenuhi secara
syara’
Dipandang
tidak sah menyewa hewan untuk berbicara dengan anaknya, sebab hal itu sangat
mustahil atau dipandang tidak sah menyewa seorang perempuan yang sedang haid
untuk membersihkan mesjid sebab diharamkan syara’.
·
Kemanfaatan Benda Dibolehkan Menurut Syara’
Pemanfaatan
barang harus digunakan untuk perkara-perkara yang dibolehkan syara’, seperti
menyewakan rumah untuk ditempati atau menyewakan jaring untuk memburu, dan
lain-lain.
Para ulama
sepakat melarang ijarah, baik benda maupun orang untuk berbuat maksiat atau
berbuat dosa. Dalam fiqh dinyatakan : menyewa untuk suatu kemaksiatan tidak
boleh.
·
Tidak Menyewa Untuk Pekerjaan yang Diwajibkan
kepadanya.
Diantara
contohnya adalah menyewa orang untuk shalat fardu, puasa, dan lain-lain. Juga
dilarang menyewa istri shalat untuk melayaninya sebab hal itu merupakan
kewajiban si istri.
·
Tidak mengambil manfaat bagi diri orang yang disewa.
Tidak menyewakan diri untuk perbuatan
ketaatan sebab manfaat dari ketaatan tersebut adalah untuk dirinya. Juga tidak
mengambil manfaat dari sisa hasil pekerjaannya, seperti menggiling gandum dan
mengambil bubuk atau tepung untuk dirinya. Hal itu didasarkan pada hadis yang
diriwayatkan oleh Daruquthni bahwa Rasulullah saw melarang untuk mengambil bekas
gilingan gandum. Ulama Syafi’iyah menyepakatinya.
Ulama Hanabilah dan Malikiyah
membolehkannya jika ukurannya jelas sebab hadis di atas dipandang tidak sahih.
·
Manfaat Ma’qud ‘Alaih sesuai dengan keadaan yang umum
Tidak boleh menyewa pohon untuk dijadikan
jemuran atau tempat berlindung sebab tidak sesuai dengan manfaat pohon yang
dimaksud dalam ijarah.
d.
Syarat Barang Sewaan (Ma’qud Alaih)
Diantara
syarat barang sewaan adalah dapat dipegang atau dikuasai. Hal itu didasarkan
pada hadis Rasulullah saw yang melarang menjual barang yang tidak dapat
dipegang atau dikuasai, sebagaimana dalam jual-beli.
e. Syarat Ujrah
(Upah)
Para ulama
telah menetapkan syarat upah, yaitu:
·
Berupa harta tetap yang dapat diketahui
·
Tidak boleh sejenis dengan barang manfaat dari ijarah,
seperti upah menyewa rumah untuk ditempati dengan menempati rumah tersebut.
f. Syarat yang
kembali pada rukun akad
Akad disyaratkan harus terhindar dari
syharat-syarat yang tidak diperlukan dalam akad atau syarat-syarat yang merusak
akad, seperti menyewakan rumah dengan syarat rumah tersebut akan ditempati oleh
pemiliknya selama sebulan, kemudian diberikan kepada penyewa.
g. Syarat yang
Kembali pada Rukun Akad
Akad disyaratkan harus terhindar dari
syarat-syarat yang tidak diperlukan dalam akad atau syarat-syarat yang merusak
akad, seperti menyewakan rumah dengan syarat rumah tersebut akan ditempati oleh
pemiliknya selama sebulan, kemudian diberikan kepada penyewa.[27]
h.
Syarat Kelaziman
a. Ma’qud ‘alaih (barang sewaan) terhindar
dari cacat
Jika tedapat cacat pada ma’qud ‘alaih (barang sewaan), penyewa boleh
memilih antara meneruskan dengan membayar penuh atau membatalkannya.
b. Tidak ada uzur yang dapat membatalkan akad
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa ijarah batal karena adanyauzur sebab
kebutuhan atau manfaat akan hilang apabila ada uzur. Uzur yang dimaksud adalah
sesuatu yang baru menyebabkan kemadaratan bagi yang akad. Uzur dikategorikan
menjadi tiga macam:
·
Uzur dari pihak penyewa, seperti berpindah-pindah
dalam mempekerjakan sesuatu sehingga tidak menghasilkan sesuatu atau pekerjaan
menjadi sia-sia.
·
Uzur dari pihak yang disewa, seperti barang yang
disewakan harus dijual untuk membayar utang dan tidak ada jalan lain, kecuali
menjualnya.
·
Uzur pada barang yang disewa, seperti menyewa kamar
mandi, tetapi menyebabkan penduduk dan semua penyewa harus pindah.
Menurut jumhur ulama, ijarah adalah akad lazim, seperti
jual-beli. Oleh karena itu, tidak bisa batal tanpa ada sebab yang
membatalkannya. Menurut ulama Syafi’iyah, jika tidak ada uzur, tetapi masih
memungkinkan untuk diganti dengan barang yang lain, ijarah tidak batal, tetapi
diganti dengan yang lain. Ijarah dapat dikatakan batal jika kemanfaatannya
betul-betul hilang, seperti hancurnya rumah yang disewakan.[28]
5.
Sifat dan Hukum Ijarah
a. Sifat Ijarah
Menurut
ulama Hanafiyah, ijarah adalah akad lazim yang didasarkan pada firman Allah SWT
: ‘’yang boleh dibatalkan’’. Pembatalan tersebut dikaitkan pada asalnya, bukan
didasarkan pada pemenuhan akad.
Sebaliknya,
jumhur ulama berpendapat bahwa ijarah adalah akad lazim yang tidak dapat
dibatalkan, kecuali dengan adanya sesuatu merusak pemenuhnya, seperti hilangnya
manfaat. Jumhur ulama pun mendasarkan pendapatnya pada ayat Al-Qur’an diatas.
Berdasarkan
dua pandangan diatas, menurut ulama Hanafiyah, ijarah batal dengan meninggalnya
salah satu seorang yang akad dan tidak dapat dialihkan kepada ahli waris.
Adapun menurut jumhur ulama, ijarah tidak batal, tetapi berpindah ahli
warisnya.
b.
Hukum Ijarah
Hukum ijarah
sahih adalah tepatnya kemanfaatan bagi penyewa, dan tepatnya upah bagi pekerja
atau orang yang menyewakan ma’qud ‘alaih, sebab ijarah termasuk jual-beli
pertukaran, hanya saja dengan kemanfaatan.
Adapun hukum
ijarah rusak, menurut ulama Hanafiyah, jika penyewa telah mendapatkan manfaat
tetapi orang yang menyewakan satu yang bekerja dibayar lebih kecil dari
kesepakatan pada waktu akad. Ini bila kerusakan tersebut terjadi pada syarat.
Akan tetapi, jika kerusakan disebabkan penyewa tidak memberitahukan jenis
pekerjaan perjanjiannya, upah harus diberikan semestinya.
Jafar dan
ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa ijarah fasid sama dengan jual-beli fasid,
yakni harus dibayar sesuai dengan nilai atau ukuran yang dicapai oleh barang
sewaan.[29]
6. Pembagian
dan Hukum Ijarah
a. Hukum
Sewa-Menyewa
Dibolehkan
ijarah aras barang mubah, seperti rumah, kamar, dan lain-lain, tetapi dilarang
ijarah terhadap benda-benda yang diharamkan.
·
Ketetapan hukum akad dalam ijarah
Menurut
ulama Hanafiyah, ketetapan akad ijarah adalah kemanfaatan yang sifatnya
mubah.menurut ulama Malikiyah, hukum ijarah sesuai dengan keberadaan manfaat.
Ulama Hanabilah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa hukum ijarah tetap pada
keadaannya, dan hukum tersebut menjadikan masa sewa seperti benda yang tampak.
Perbedaan pendapat di atas berlanjut pada
hal-hal berikut.
1) Keberadaan upah dan hubungannya dengan akad
Menurut
ulama Syafi’iyah dan Hanabilah, keberadaan upah bergantung pada adanya akad.
Menurut
ulama Hanafiyah dan Malikiyah, upah dimiliki berdasarkan akad itu sendiri,
tetapi diberikan sedikit demi sedikit, bergantung pada kebutuhan ‘aqaid.
Menurut
ulama Hanafiyah dan Malikiyah, kewajiban upah didasarkan pada tiga perkara :
a) Mensyaratkan upah untuk dipercepat dalam
zat akad.
b) Mempercepat tanpa adanya syarat.
c) Dengan membayar kemanfaatan sedikit demi
sedikit. Jika dua orang yang akad bersepakat untuk mengakhirkan upah, hal itu
dibolehkan.
2) Barang sewaan atau pekerjaan diberikan
setelah akad
Menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah, ma’qud ‘alaih (barang sewaan)
harus diberikan setelah akad.
3) Ijarah dikaitkan dengan masa yang akan
datang
Ijarah untuk waktu yang akan datang dibolehkan menurut ulama Malikiyah,
Hanabilah dan Hanafiyah, sedangkan Syafi’iyah melarangnya selagi tidak
bersambung dengan waktu akad.[30]
·
Cara Memanfaatkan Barang Sewaan
Ø Sewa rumah
Jika seseorang menyewa rumah, dibolehkan
untuk memanfaatkannya sesuai kemauannya, baik dimanfaatkan sendiri atau dengan
orang lain, bahkan boleh disewakan lagi atau dipinjamkan pada orang lain.
Ø Sewa tanah
Sewa tanah diharuskan untuk menjelaskan tanaman apa yang akan ditanam
atau bangunan apa yang akan didirikan di atasnya. Jika tidak dijelaskan, ijarah
dipandang rusak.
Ø Sewa kendaraan
Dalam menyewa kendaraan, baik hewan atau
kendaraan lainnya harus dijelaskan salah satu diantara dua hal, yaitu waktu dan
tempat. Juga harus dijelaskan barang yang akan dibawa atau benda yang akan
diangkut.
·
Perbaikan barang sewaan
Menurut ulama Hanafiyah, jika barang yang
disewakan rusak, seperti pintu rusak atau dinding jebol dan lain-lain,
pemiliknya lah yang berekwajiban memperbaikinya, tetapi ia tidak boleh dipaksa
sebab pemilik barang tidak boleh dipaksakan untuk memperbaiki barangnya
sendiri. Apabila penyewa bersedia memperbaikinya, ia tidak diberikan upah sebab
dianggap sukarela.
Adapun hal-hal kecil, seperti membersihkan
sampah atau tanah merupakan kewajiban penyewa.
·
Kewajiban penyewa setelah habis masa sewa
a. Menyerahkan kunci jika yang disewa rumah.
b. Jika yang disewa kendaraan, ia harus
menyimpannya kembali di tempat asalnya.[31]
b.
Hukum Upah-Mengupah
Upah mengupah atau ijarah ‘ala al-a’mal,
yakni jual-beli jasa, biasanya berlaku dalam beberapa hal seperti menjahitkan
pakaian, membangun rumah, dan lain-lain. Ijarah ‘ala al-a’mal terbagi dua,
yaitu :
·
Ijarah Khusus
Yaitu ijarah yang dilakukan oleh seorang
pekerja. Hukumnya, orang yang bekerja tidak boleh bekerja selain dengan orang
yang telah memberinya upah.
·
Ijarah Musytarik
Yaitu ijarah dilakukan secara bersama-sama atau melalui kerja sama.
Hukumnya dibolehkan bekerja sama dengan orang lain.
7.
Tanggung Jawab yang Disewa (Ajir) dan
Gugurnya Upah
a. Ajir Khusus
Ajir khusus, sebagaimana dijelaskan di atas
adalah orang yang bekerja sendiri dan menerima upah sendiri, seperti pembantu
rumah tangga. Jika ada barang yang rusakm ia tidak bertanggungjawab untuk
mengganti.
b. Ajir
Mustytarik
·
Ulama Hanafiyah, Jafar, Hasan Ibn Jiyad, dan Imam
Syafi’iyah
Pendapat yang paling sahih adalah mereka
tidaj bertanggungjawab atas kerusakan sebab kerusakan itu bukan disebabkan oleh
mereka, kecuali bila disebabkan oleh permusuhan.
·
Imam Ahmad dan dua sahabat Imam Abu Hanifah
Mereka berpendapat bahwa ajir
bertanggungjawab atas kerusakan atas kerusakan jika kerusakan disebabkan oleh
mereka walaupun tidak sengaja, kecuali jika disebabkan oleh hal-hal yang umum
terjadi.
·
Menurut Ulama Malikiyah
Pekerja bertanggungjawab atas kerusakan
yang disebakan walaupun tidak disengaja atau karena kelalaiannya.[32]
c. Perubahan
dari Amanah Menjadi Tanggungajawab
Sesuatu yang ada di tangan ajir, misalnya
kain pada seorang penjahit, menurut ulama Hanafiyah dianggap sebagai amanah.
Akan tetapi, amanah tersebut akan berubah menjadi tanggung jawab bila dalam
keadaan berikut:
·
Tidak menjaganya.
·
Dirusak dengan sengaja. Dalam ajir musytarak, apabila
murid ajir ikut membantu, pengajarlah yang bertanggungjawab atas kerusakan
tersebut.
·
Menyalahi persamaan penyewa.
d.
Gugurnya upah
Para ulama berbeda pendapat dalam menetukan
upah bagi ajir, apabila barang yang di tangannya rusak.
Menurut ulama Syafi’iyah, jika ajir bekerja
di tempat yang dimiliki oleh penyewa, ia tetap memperoleh upah. Sebaliknya,
apabila barang berada di tangannya, ia tidak mendapatkan upah. Pendapat
tersebut senada dengan pendapat ulama Hanabilah.
Ulama Hanafiyah juga hampir senada dengan
pendapat di atas. Hanya saja diuraikan lagi:
1) Jika benda ada di tangan ajir
·
Jika ada bekas pekerjaan, ajir berhak mendapatkan upah
sesuai bekas pekerjaan tersebut.
·
Jika tidak ada bekas pekerjaannya, ajir berhak
mendapatkan upah atas pekerjaannya sampai akhir.
2) Jika benda berada di tangan penyewa.
Pekerja berhak mendapat upah setelah selesai bekerja.
e. Pengekangan
Barang
Ulama Hanafiyah membolehkan ajir untuk
mengekang barang yang telah ia kerjaan, sampai ia mendapatkan upah. Akan tetapi,
jika dalam masa pengekangan, barang tersebut rusak, ia harus bertanggungjawab.[33]
8. Perbedaan
Diantara yang Akad
Seringkali terjadi perbedaan pendapat di antara
kedua pihak yang melakukan akad (sewa-menyewa) tentang jumlah upah yang harus
diterima atau diberikan padahal ijarah
dikagorikan sahih, baik sebelum jasa diberikan maupun sesudah jasa diberikan.
Apabila terjadi perbedaan sebelum
diterimanya jasa, keduanya harus bersumpah, sebagaimana disebutkan pada hadis
Rasulullah saw yang artinya : ‘’Jika terjadi perbedan di antara dua orang
yang berjual-beli, keduanya harus saling bersumpah dan mengembalikan.’’
Hadis tersebut meskipun berkaitan dengan
jual-beli, juga relevan dengan ijarah. Dengan demikian, jika keduanya
bersumpah, ijarah menjadi batal.
Kedua pihak yang melaksanakan akad berbeda
pendapat setelah penyewa memanfaatkan sebagian sewaannya, yang diterima adalah
ucapan penyewa dengan sumpahnya dan batal ijarah sisanya.
Kedua pihak yang melaksanakan akad berbeda
pendapat setelah masa persewaan selesai, yang diterima ucapan penyewa dalam
penentuan biaya sewaan disertai sumpah.
Ulama Syafi’iyah berpendapat, jika pembuat
baju berbeda dengan penjahit, misalnya tentang jenis benang yang dipakai
menjahit, yang diterima adalah ucapan yang disertai sumpah.[34]
9. Akhir Ijarah
·
Menurut ulama Hanafiyah, ijarah dipandang habis dengan
meninggalnya salah seorang yang akad, sedangkan ahli waris tidak memiliki hak
untuk meneruskannya. Adapun menurut jumhur ulama, ijarah itu tidak batal,
tetapi diwariskan.
·
Pembatalan akad.
·
Tejadi kerusakan pada barang yang disewa. Akan tetapi,
menurut ulama lainnya kerusakan pada barang sewaan tidak menyebabkan habisnya
ijarah, tetapi harus diganti selagi masih dapat diganti.
·
Habis waktu, terkecuali kalau ada uzur.[35]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ariyah adalah sesaat (datang dan
pergi). Yaitu, bahwa barang yang dipinjam harus digunakan seperlunya dan segera
dikembalikan jika telah digunakan.
Hiwalah adalah akad yang mengendaki perpindahan pengalihan hutang
dari tanggung jawab seseorang kepada tanggung jawab orang lain.
Ijarah
atau sewa-menyewa pada sesuatu yang dapat diberikan manfaatnya, seperti
menyewakan air susu ibu, menyewakan tenaga, menyewakan ilmu, dan barang-barang
lain yang dapat memberi manfaat.
Ijarah atau sewa-menyewa pada sesuatu yang dapat diberikan
manfaatnya, seperti menyewakan air susu ibu, menyewakan tenaga, menyewakan
ilmu, dan barang-barang lain yang dapat memberi manfaat.Kegiatan muamalah
seperti ariyah, hiwalah dan ijarah. Adalah sesuatu yang tidak bisa terlepas
dari kehidupan kita sehari-hari. Hukum asalnya terikat dengan hukum syara. Oleh
karena itu sebagai seorang muslim, kita seharusnya mengetaui dalil-dalil syara
dan ketentuan-ketentuan mengenai kegiatan tersebut agar kita terhindar dari
hal-hal yang di haramkan dan dibenci Allah swt.
[1]
Hasbiyallah, 2014. Sudah Syar’ikah Mu’amalahmu. (Yogyakarta : SALMA IDEA). Cet 1, hlm. 40
[2]
H. Abdul Rahman Ghazaly, dkk. 2010. Fiqh Muamalat. (Jakarta: KENCANA
Prenada Media Group), hlm. 247
[3]
Ibid, H. Abdul Rahman Ghazaly, dkk. 2010. Fiqh Muamalat, hlm 40-41
[4] Op.cit,
H. Abdul Rahman Ghazaly, dkk. 2010, hlm. 249-250
[5] Op.cit,
Hasbiyallah, 2014. Sudah Syar’ikah Mu’amalahmu, hlm. 41-43
[6]
Op.cit, H. Abdul Rahman Ghazaly, dkk. 2010, hlm. 250-253
[7] Sulaiman
Rasid. 2012. Fiqh Islam. (Bandung : Sinar
Baru Algensindo). Cet 57, hlm 377
[8] Op.cit,
Hasbiyallah, 2014. Sudah Syar’ikah Mu’amalahmu, hlm 86
[9] Op.cit,
H. Hendi Suhendi. 2002. Fiqh Muamalah, hlm 99
[10] Ahmad
Azharuddin Latif. 2005. Pengantar Fiqih. (Jakarta : Pusat Studi Wanita
(PSW) UIN Jakarta), hlm 380
[11] Op.cit,
H. Hendi Suhendi. 2002, hlm 103
[12] Ibid,
H. Hendi Suhendi. 2002 hlm 113
[13] Ibid
[14] Ibid,
hlm 114
[15] Ibid
[16] H.
Rachmat Syafe’i. 2001. Fiqh Muamalah. (Bandung : CV. Pustaka Setia), hlm
121
[17] Op.cit.
H. Hendi Suhendi. 2002, hlm 114
[18] Ibid,
hlm 115
[19] Ibid,
H. Rachmat Syafe’i. 2001, hlm 122
[20] Ibid
[21] Op.cit,
Hasbiyallah, 2014, hlm 45
[22] Op.cit,
H. Rachmat Syafe’i. 2001, hlm 123
[23] Op.cit.
H. Hendi Suhendi. 2002, hlm 116
[24] Ibid
[25] Op.cit,
H. Rachmat Syafe’i. 2001, hlm 125
[31] Ibid
[32] Ibid,
hlm 134
Komentar
Posting Komentar